0 comment 106 views

Menalar Nanar Republik Keluarga

Bermula dari ketuk palu MK

Ketuk palu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman pada tanggal 16 Oktober lalu segera santer memicu reaksi publik. Meski menolak uji materi tentang syarat minimal usia calon presiden / wakil presiden (capres-cawapres) menjadi 35 tahun, pemberian eksepsi terhadap pejabat yang dipilih lewat Pemilu ditengarai tak beres. Eksepsi itu berarti membuka gerbang bagi putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju menuju arena kontestasi Pilpres 2024. Sebuah jalan yang bisa diduga menjadi agenda untuk membangun republik keluarga.

Sedari awal, Gibran memang telah digosipkan akan maju sebagai kandidat. Gosip tersebut jelas tak serupa dengan gosip selebritis yang membumbung sebagai bumbu popularitas semata. Majunya Gibran dikhawatirkan akan menimbulkan episode nepotisme baru di negeri yang kian tak demokratis ini. Ia dinarasikan tengah disiapkan ayahandanya untuk mewarisi legacy yang telah dibangun selama hampir sedekade berkuasa. Kecurigaan publik kian memekik lantaran sang pembuka gerbang bagi Gibran tak lain adalah paklik-nya sendiri. Ya, sejak 26 Mei 2022, Anwar Usman resmi menjadi bagian dari trah Presiden Jokowi selepas meminang Idayati, adik perempuan kedua sang Presiden.

Sejatinya, pembatasan aspek umur dalam kontestasi politik memanglah problematik. Baik batas minimal maupun batas maksimal, keduanya secara tidak langsung telah membatasi hak politik seseorang. Padahal, sesuai dengan kesepakatan hak asasi manusia (HAM) PBB yang tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights, hak politik tak bisa diuthik-uthik. Seseorang bebas dipilih sekaligus memilih sesuai dengan kehendaknya tanpa boleh diintervensi oleh siapapun. Tak berlebihan bila kemudian banyak pihak mendorong agar aturan tersebut ditinjau kembali dan direvisi.

Entah pertimbangan apa yang digunakan oleh pembentuk hukum di negeri ini soal ide pembatasan usia itu. Bagaimanapun, politik tak kenal usia. Muda atau tua sama-sama berhak untuk bertarung memperebutkan isi kotak suara. Selagi mereka memang kompeten dan teruji, tak semestinya usia dipersoalkan. Apalagi hanya demi memuaskan birahi kuasa para politisi senior yang takut akan kehadiran para kompetitor. Dari kaca mata ini, majunya Gibran pada hakikatnya justru membuka asa publik—terutama orang muda—yang barangkali selama ini dicekik. Cekikan itu, menjadikan publik picik sekaligus buta akan hak-hak mereka yang selama ini sengaja ditutup-tutupi.

Monopoli parpol dan awal nepotisme

Pihak paling layak dituding atas pembutaan dan pemicikan itu tak lain adalah partai politik (parpol). Selama ini, praktik Pemilu pasca reformasi yang kerap digembar-gemborkan paling demokratis senyatanya masihlah dipenuhi oleh siasat kompromis. Pemilu yang semestinya menjadi ajang bagi rakyat untuk memilih pemimpinnya telah dimonopoli oleh parpol. Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) sempat menyebut bahwa rakyat Indonesia sejatinya tak pernah benar-benar berkesempatan untuk memilih pemimpin idamannya. Mereka selalu dipilihkan, disodorkan opsi-opsi yang telah digembosi oleh partai politik beserta tim koalisi.

Di dalam proses penggembosan itulah, serangkaian kontrak politik di-deal- kan. Mereka yang enggan sepakat pada akhirnya harus minggat. Figur yang sedianya begitu diidam-idamkan rakyat justru ter-skak mat dini lantaran mlarat koalisi. Sementara, bagi yang mau berjabat tangan, mereka tentu akan diusung dengan penuh sorai pujian. Namun, tatkala mereka resmi duduk di kursi jabatan, partailah yang giliran punya kendali. Alhasil, tak mengherankan bila banyak pejabat publik yang lebih bersendika pada dhawuh ketua umum (ketum) partainya. Mereka abai pada jeritan rakyat, orang-orang yang semula mereka janjikan nasibnya akan terangkat.

Konstitusi mengamanatkan bahwa kedaulatan republik ini berada di tangan rakyat. Tak ada konsekuensi lain kecuali keharusan bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia harus bersumber dari rakyat yang bermufakat. Kemudian, rakyat harus terlibat melalui keterbukaan partisipasi sekaligus diawasi dengan kebebasan kritik. Tak ketinggalan, demokrasi itu harus ditujukan untuk kepentingan rakyat secara kolektif yang dibangun di atas pondasi inklusivitas. Sayangnya, pencalonan Gibran menegasikan amanat konstitusi tentang tema kedaulatan ini. Alienasi antara Presiden Jokowi, Anwar Usman, serta Gibran jelas bukan suatu kebetulan.

Tuduhan dan kecurigaan publik atas praktik nepotisme tentu tak bisa dipersalahkan, mengingat fakta-fakta garis keluarga itu jelas terbuka menganga. Selain itu, wacana masa jabatan presiden tiga periode atau dua periode dengan ekstensi tiga tahun kian memperkuat dugaan ini. Sebaik apapun slogan Kerja, Kerja, Kerja sang presiden, masa kerjanya di kursi kuasa tetap harus direken dan tak boleh ngeden. Kesepakatan yang tertuang pada konstitusi tak boleh seenaknya diothak-athik sekadar mengatasnamakan pandemi. Belum lagi, inkonsistensi presiden tentang sikapnya atas pencalonan sang Pangeran juga kian menjadikannya kian terperosok pada lembah keantagonisan.

Dinasti yang telanjur jadi tradisi

Apalagi bila melihat rekam jejak para pemimpin kita ke belakang, model- model suksesi nepotistik bukanlah sesuatu yang asing bagi bangsa ini. Praktik dinasti politik seakan tumbuh membudaya bersama aliran nadi para penguasa. Di zaman Orde Baru (Orba), misalnya, Bung Harto sebelum lengser keprabon telah mendorong Mbak Tutut untuk nunut outbond ke pelbagai pondok pesantren. Tak ada maksud lain kecuali hendak mendulang amunisi suara dari kalangan kyai-santri. Seusai Bung Harto, bekas-bekas presiden kita juga tetap melanggengkan praktik nepotisme itu, meski sekadar di lingkup parpol.

Bung Susilo menjadikan Demokrat sebagai kerajaan bagi keluarganya. Sang Pangeran, Mas Agus, bahkan telah dipersiapkan untuk bisa mendapuk kursi RI 1. Digodok lewat Pilgub DKI 2017 yang berakhir jeblok, Mas Agus menolak kapok. Ia bahkan sempat disuarakan akan menjadi salah satu kandidat capres- cawapres. Namun sayangnya, Demokrat harus kehilangan tiket, sebab manuver dadakan yang dicibir tak beretiket. Mereka harus mengalah merapat ke koalisi lain, sekaligus memaksa sang Pangeran untuk menanti lima tahun lagi.

Selain Demokrat, PDI Perjuangan juga tak lepas dari “nuansa kekeluargaan”. Sang Ratu, Megawati Soekarnoputri, telah jauh-jauh hari menggembleng Mbak Puan untuk duduk di kursi putri mahkota. Sembari terus mengumbar darah nasabnya yang bertaut pada Bung Karno, Mbak Mega tak pernah bosan mensponsori putrinya itu. Ia di-endorse dalam forum apapun yang melibatkan keluarga banteng. Bahkan, sebelum pencalonan Ganjar diresmikan, geliat Mbak Mega selaku jenderal moncong putih untuk mengerek anaknya ke panggung Pilpres itu masih terlihat. Kerutan-kerutan di wajah senjanya masih terbaca menatahkan kata-kata ambisi.

Apalagi, Megawati punya hak prerogatif dalam hal penentuan capres- cawapres yang tak bisa seorang pun dari kader banteng menolaknya. Namun, popularitas dan kinerja Ganjar wajib untuk sepatutnya diganjar. Mbak Puan harus rela bernasib sama dengan Mas Agus, menunggu dan terpaksa sekadar menjadi tim pemulus. Meski begitu, marwahnya di PDI Perjuangan tetap tak goyah. Kelak, tatkala sang ibu telah lelah dan bosan bercokol, Mbak Puan seketika bisa auto terkatrol, tanpa perlu ada yang protes ataupun dongkol.

Sementara, PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) punya gayanya sendiri akan praktik desire of political dynasty. Kita bisa melihat dari diri Mbak Yenny, putri sang Wali Masyhur yang tak pernah bisa akur dengan saudara jauhnya, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Keduanya saling tuding di media, baik secara sirr maupun jahr. Mbak Yenny masih dengan narasi yang sama, menuding Cak Imin sebagai pencuri partai yang katanya didirikan Gus Dur itu. Di balik kegetolan Mbak Yenny dalam mengulang-ulang tragedi perpindahan kendali PKB, tersemat ambisi politiknya untuk tetap menggenggam kemudi partai. Seandainya PKB tetap berada di bawah setir sang papa, ia mungkin saat ini telah duduk di atas tahta empuk menikmati sorak-sorai pendukungnya yang selalu terdengar kemriyuk. Terlebih, dari ketiga putri Gus Dur, Mbak Yenny lah yang paling sering diajak bersafari dan berlibur.

Plus dengan kepiawaiannya mengangkat isu-isu gender dan kemajemukan, bukan mustahil bila Mbak Yenny bisa jadi telah dipinang oleh salah satu bacapres. Ia bisa mengulang kisah sukses Mbak Mega yang dahulu dipinang ayahandanya untuk mendampingi beliau memimpin republik ini. Sayangnya, Mbak Yenny tak begitu bertuah, karena Cak Imin justru berkilah. Ia tak sudi mengaku bersalah, sebab PKB jatuh ke tangannya lewat mekanisme yang menurutnya sah. Jelas, singgasana PKB sekaligus titel Panglima Santri yang ia genggam saat ini, tak akan ia serahkan dengan begitu mudah. Berteguh pada “ridho para kyai sepuh” sekaligus massa NU (Nahdlatul Ulama) yang dikenal selalu riuh dan doanya ampuh, Cak Imin melenggang maju bersama Anies Baswedan. Keduanya siap all out meramaikan khazanah kontestasi Pilpres pada Februari nanti.

Sementara itu, di Perindo, Hary Tanoesoedibjo tanpa tedheng aling-aling telah membawa cita rasa keluarganya ke partai yang terbilang masih berusia awal remaja itu. Sang istri, Liliana, didapuk sebagai Ketua Umum Kartini Perindo sekaligus bakal calon legislatif (bacaleg) Dapil Jakarta II. Kartini Perindo merupakan sebuah organisasi sayap Perindo yang bergerak di bidang pemberdayaan sosial dan keperempuanan. Tentu saja, selagi aktvitas pemberdayaan itu dilakukan, obrolan dan seruan politik wajib hukumnya untuk dijalankan. Sementara, putri pertama Hary dan Liliana, yakni Angela Tanoesoedibjo menduduki posisi wakil sekretaris jenderal Perindo. Pada Pemilu legislatif 2024 mendatang, Angela akan maju sebagai bacaleg untuk Dapil Jawa Timur I.

Selain ketiganya, masih tersisa empat orang anak Hary-Liliana lain yang akan turut diangkut untuk ikut berebut kursi parlemen. Keempatnya yakni Valencia Tanoesoedibjo yang akan bertarung di Dapil Jakarta III. Selanjutnya, ada Jessica Tanoesoedibjo yang memilih Dapil Nusa Tenggara Timur II sebagai medan laga. Sementara, anak keempat Hary-Liliana yakni Clarissa, dipastikan turut berkontestasi di Dapil Jawa Barat I. Terakhir, sang bungsu Warren Tanoesoedibjo, memilih mengadu nasib di Dapil Jawa Tengah I. Praktis, keluarga Tanoesoedibjo jelas akan memonopoli kursi persaingan dalam tubuh Perindo sendiri. Apalagi, mereka punya media pribadi yang tentu akan menjadi amunisi jitu. Bacaleg-bacaleg Perindo yang tak masuk radar trah Tanoesoedibjo kini hanya bisa manggut- manggut sekaligus merengut. Di satu pihak mereka ingin berjaya, tetapi di sisi seberang, mereka enggan terdepak sebab melawan “kehendak bapak”.

Salahkah Jokowi?

Lantas, perlukah publik berang bila sekarang Presiden Jokowi menghendaki pangerannya meniti tangga-tangga keprabon itu? Apalagi, meski Jokowi tak punya partai sendiri, aura magisnya telah menghipnotis banyak rakyat di negeri penuh fa fi fu ini. Semangat kerjanya benar-benar membahana. Pembangunan yang ia inisiasi berjalan gilang-gemilang tanpa aral sandungan. Di eranya, bangsa asing bertepuk tangan. Indonesia disambut bak seorang satpam yang terbangun dari kantuk akibat begadang semalaman. Rakyat dalam negeri digelontori beragam program kartu harapan. Beasiswa pendidikan tak tanggung-tanggung ia gelontorkan. Investasi tumbuh melejit berkat laju hilirisasi yang berjalan lancar nan gesit. Meski semuanya dibiayai dari utang negara, beban tanggungan bagi rakyat jelata.

Selama dua periode menjabat, Presiden Jokowi juga terbilang presiden yang tabah nan kuat. Serangan-serangan kritik tajam seakan tak berkutik untuk membuatnya terusik. Tuduhan ijazah palsu, cukup ia lawan dengan sesimpul senyuman. Dampratan “Firaun-bajingan-tolol” tak membikin amarahnya kecantol. Ia lebih memilih fokus dengan program-program kerjanya yang mesti diurus, sebab banyak menuai konflik serta kasus. Ia juga figur yang tak kenal kata kompromi pada pemberantasan korupsi. Siapapun anak buahnya yang nekat, pasti akan ia sikat. Ia tampil sangar dan turut mendobrak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyibak para menterinya yang kedapatan menjamah uang rakyat. Sementara, dirinya sendiri senantiasa bersih nan suci dari korupsi. Kemeja putih yang ia kenakan benar-benar mewakili kemurnian nuraninya. Sayang, nurani itu kini lekas tak hati-hati dan mulai keenakan.

Jokowi juga termasuk presiden di republik ini yang berhasil memadamkan api oposisi. Tanpa sedikitpun meletupkan pelana pistol, arus oposisi yang semula ganas serta buas bisa ia kontrol. Keputusannya menjadikan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) sungguh menunjukkan sosok seorang negarawan teladan. Ia dengan penuh kedewasaan, berkenan menggandeng rival abadinya untuk memasuki istana kekuasaan. Prabowo pun berbesar hati menerima pinangan Jokowi. Di Istana Negara saat pelantikan para menteri, ia hormat kepada sosok yang telah mempermalukannya dalam duel Pilpres dua edisi. Hijrahnya Prabowo ke istana mau tak mau menyeret partai oposisi untuk lebih hemat bicara. Toh, Prabowo tak kan sudi bila ajengan-nya itu dimaki-maki oleh para pengikutnya sendiri. Sejak saat itu, Prabowo-Jokowi kian mesra, mentahbiskan gejala-gejala suksesi. Kemesraan itu ternyata tak sekadar isapan jempol semata. Prabowo benar- benar akan maju, berpasangan dengan sosok “Jokowi yang baru”.

Kemudian, keberanian Jokowi mengorbitkan sang Pangeran dalam kontestasi Pilpres sebenarnya kian menunjukkan jiwa beraninya. Ia memilih untuk berselisih dengan PDI Perjuangan, partai yang mentatihnya dari jabatan walikota hingga kursi tertinggi yang saat ini ia duduki. Ia tak ragu untuk berbeda dengan Mbak Mega, tak gentar untuk menolak mendukung Ganjar. Ia memainkan lakon politiknya dengan apik, manis nas estetis seperti potongannya yang selalu tersisir klimis. Jokowi menandaskan dirinya sebagai penguasa sejati, bukan petugas partai yang gampang dipengaruhi sana-sini. Tangan besinya benar-benar kokoh, oligarkinya seakan mustahil roboh. Namun, agaknya ia kini lekas tergopoh-gopoh. Ia kian dingin tatkala orang mencemooh, tak seperti pribadinya dulu yang gemar melempar seloroh.

Orang muda bisa apa

Eskalasi politik tanah air menjelang purna bakti sang Presiden telah melahirkan banyak gejolak. Gerakan-gerakan mahasiswa kian lantang turun ke jalan, menolak aroma-aroma nepotisme yang kian hari kian sreng-srengan. Gegap gempita penolakan orang muda terhadap “yang muda” untuk maju seakan tak pernah jemu memenuhi ruang-ruang kelabu. Tak ada tempat bagi nepotisme keparat. “Yang muda” wajib dicekal, lakunya harus dijegal, sebab tiket yang ia genggam berasal dari proses ilegal. Ilegal yang dilegalisasi melalui mekanisme yang ngakali. Mereka lupa bila publik tak sepandir sebuah pedati bertarikkan keledai tanpa kusir. Boleh jadi bila kegeraman publik kian menukik, sang Presiden bisa-bisa di-impeach sebelum ia jadi menghelat upacara HUT ke-79 RI di ibukota baru milik republik. Bukankah Indonesia punya banyak orang muda yang siap menggelorakan “salam olahraga” kepada para Polisi dan tentara?

Narasi impeachment serta ancaman akan terulangnya tragedi Mei 1998 seakan menjadi hidangan paling lezat yang hari-hari ini kian sering membikin orang terpikat. Hidangan itu kerap tersaji di atas meja-meja diskusi, baik yang disiarkan oleh televisi maupun yang dibikin eksklusif untuk pihak sendiri. Apalagi, tahun 2024 nanti, musuh “yang muda” ada dua. Tak seperti ayahandanya yang selalu berduel one on one, sang Pangeran harus meladeni dua lawannya senior yang lebih punya jaringan kawan dan relawan. Praktis, gorengan isu agar ia dipukul mundur mestilah tak akan kendur. Barisan simpatisan dari dua lawannya jelas tak akan membisu. Toh, kini mereka berpeluang untuk menjatuhkan, apalagi keluarga presiden kini tengah dalam keterpojokan-kesalahan.

Namun, orang muda semestinya punya caranya sendiri untuk melawan nepotisme di negeri ini. Saat ini, nafsu untuk turun ke jalanan boleh jadi sekadar reaksi kesusu yang tak semestinya tak dituruti melulu. Kita semuanya tahu bahwa rakyat tak lagi dungu. Mereka punya pengetahuan, mereka punya keyakinan. Mereka tak sedang pilek sehingga gagal membau, mana aroma soto babat dan mana bau kebusukan pejabat. Rakyat tak akan tinggal diam bila hak-haknya diambil, meski barang secuil. Jutaan sarjana-master-doktor-profesor di negeri ini tentulah tak sudi bila negaranya dicuri. Pengetahuan dan keahlian mereka tentu akan digerakkan manakala memang diperlukan. Kecintaan rakyat terhadap negara bisa dengan mudah untuk menggulingkan penguasa. Namun, sekali lagi, bukan dengan adu okol konyol atau geger gedhen tanpa kepentingan preseden caranya.

Kita masih punya secercah harapan yang bisa kita sandarkan pada hukum di negeri ini. Mekanisme majunya “yang muda” yang dirasa tak sreg sekaligus penuh wigah-wigih kompromi nepotis masih bisa diusut lewat meja hijau. Saat ini, proses hukum tengah berjalan, putusan sebentar lagi akan ditetapkan. Mereka yang bersalah, pastilah akan bubrah. Masih tetap ada harapan pada keadilan orang-orang baik. Ingat, tak semua orang adalah bajingan. Toh, semuanya serba terang- benderang di bawah pengawasan ketat media massa. Sudah semestinya menjadi tanggung jawab bersama untuk mengawal proses itu sampai semuanya beres. Jangan sampai, kita terlalu disibukkan oleh pikiran-pikiran busuk untuk mengamuk. Menghunus kepal, kehilangan akal, hati mengeras nan kian bebal.

Orang muda yang umumnya lebih berakal memanglah sewajarnya bila bersikap responsif. Namun, responsivitas itu tetap harus dilandasi refleksi komprehensif agar reaksi yang dihasilkan benar-benar solutif dan konstruktif. Di tengah badai narasi-narasi kesusu yang entah bagaimana kian mengudara itu, orang muda memanggul peranan krusial untuk turut menjadi pendidik politik. Rakyat jamak tetap harus dikawal nalar sehatnya. Jangan sampai kita terlalu asyik bergumul dengan hasrat demo dan adu jotos, tapi nalar dan nurani kita kian keok dan keropos. Apalagi, Pemilu yang tinggal empat bulan lagi jelas harus dikawal pelaksanaannya sedari hulu hingga hilir.

Sorot lampu atas kasus “yang muda” tak boleh membikin orang muda terlena. Pendidikan politik akan pentingnya suara rakyat dalam Pemilu bagi kemajuan bangsa haruslah terus bergema. Apalagi, selama ini suara rakyat masih kerap mudah dibeli. Tawaran sembako, kaos berlogo, atau amplop berisi gocap dengan mudahnya membikin suara rakyat tersekap. Praktik money politic terus bergulir bersamaan dengan hilir uang rakyat yang kerap dipelintir. Modal milyaran yang dikucurkan selama kampanye harus dituntut kembali. Buntutnya, korupsi tak pernah berhenti, bergeser dari instansi demi instansi tanpa terkendali. Pejabat hidup mewah bergelimang berkah, bebas menjamah apapun tanpa ada yang mencegah. Sementara, rakyat hanya kebagian lima puluh ribu, itu pun lima tahun yang lalu.

Kini, perjuangan kita untuk mengawal masa-masa menuju Februari jelas akan lebih terjal. Serangan-serangan fajar menjelang Pemilu boleh jadi akan berlangsung lebih dini, bahkan selagi horizon timur masih dalam gulita malam. Isu pencapresan tak boleh dibiarkan menyita atensi publik terlalu lama. Kondisi ini jangan sampai dimanfaatkan oleh para kontestan Pemilu untuk menghasut dan membelokkan nalar-nurani rakyat. Orang muda bertanggung jawab untuk mengawal suara rakyat yang berdaulat, bukan suara yang mudah dibajak atau disikat. Biarlah kasus “yang muda” diurus MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) bersama keyakinan bahwa Tuhan tak pernah ketus atau ogah mengurus. Biarlah rakyat yang menentukan apakah pengkatrolan sang Pangeran layak untuk menjadikannya pemimpin di masa mendatang. Toh, semua bergantung pada pilihan rakyat, bukan kuasa presiden yang kian lemah dan sebentar lagi mangkat.

Kita punya pekerjaan yang lebih penting, yakni melindungi rakyat dari cengkeraman caleg-capres sinting yang hanya akan menjadi maling negara.

Tinggalkan Komentar

Komentar Terbaru

  • Seoranko

    It appears that you know a lot about this topic. I expect…

  • Felix Meyer

    Truly appreciate your well-written posts. I have certainly picked up valuable insights…

  • VIEW NEWZ

    Very interesting news information that doesn't make you bored, especially the latest…

  • BERITA MANTUL

    One of the rare natural phenomena that will occur next month is…

  • 168NEWS

    Several central banks have begun considering raising interest rates to control rising…

Chat WhatsApp
Butuh Bantuan?
Selamat datang di Portal Berita Paradeshi. Untuk memudahkan pembaca dalam memahami beragam informasi yang kami sajikan, baik dalam bentuk berita ataupun artikel, seluruh konten yang dihadirkan kami kanalkan dalam beragam rubrik.

Silahkan menghubungi kami untuk mengetahui informasi lebih lanjut