11 comments 164 views

Politik Naratif: Politic Power dalam Narasi Pembunuh Demokrasi

Katanya, saat ini kebebasan berdemokrasi lebih terjamin. Kami punya hak menentukan nahkoda dan arah layar negeri kami sendiri. Tapi, saat yang beredar adalah narasi, bukan teror, kenapa kami merasakan sengkarut pengaruh kendali?

Politik naratif berarti mengandalkan kekuatan narasi untuk membentuk perilaku masyarakat. Bisa kita lihat hubungan politik dan narasi ketika adanya kekuasaan yang bekerja dalam berbagai momen, misalnya, krisis politik, ekonomi, terutama dalam laga di pemilihan umum. Narasi, yang dalam pengertian ini adalah sebentuk cerita, sederhana namun mampu merangkum kompleksitas persoalan, menjadi penting bagi penguasa untuk meyakinkan dan mendapatkan kepercayaan rakyat.

Berbagai taktik politisi untuk memenangkan kontestasi pemilu, seperti politik identitas, kapitalisasi isu, hoaks dan post-truth memiliki satu kesamaan, yaitu memanfaatkan narasi. Tulisan ini mencoba menerangkan dampak negatif ketika narasi berbaur dengan politik, dan sebaliknya. Pasalnya, sifat “mempengaruhi” dari narasi kontra-produktif jika dihadapkan dengan independensi dan intelektualitas yang menjadi unsur penting dalam demokrasi.

Yang malah terjadi, kekuatan narasi sebagai vote getter dalam demokrasi elektoral menjadi dilema dalam memaknai demokrasi sekarang. Harusnya yang terjadi adalah publik menjadi political master atas kandidat maupun partai politik. Namun yang terjadi kini justru adalah anomali, yakni publik tidak lagi dimaknai subjek, tapi sebagai objek.

Dalam perjalanannya, bentuk narasi politik selalu berkembang dan berubah seiring waktu sesuai dengan tren yang hangat dan tingkat preferensi masyarakat terhadap gejolak politik. Narasi politik akan selalu beradaptasi sesuai arus kecenderungan masyarakat atas suatu tren.

Pada tahun 2014, narasi yang kerap dibangun mengangkat isu-isu kerakyatan wong cilik. Para pendukung calon presiden Joko Widodo membawa slogan “Jokowi adalah Kita”. Suka atau tidak, slogan itu adalah pantulan dari narasi politik kerakyatan, tentang harapan kebangkitan bangsa Indonesia di abad ke-21, isu pendidikan dan kesehatan yang terjangkau semua kalangan. Narasi itu berhasil menyatukan para pendukung Jokowi yang umumnya berasal dari kalangan bawah; petani, buruh, nelayan, dan urban poor. Kemudian, narasi itu diperkuat dengan aksi Jokowi blusukan dan menyapa mereka di mana pun sang calon presiden bertemu.

Sementara pada pilpres 2019 diwarnai politik identitas yang merusak nilai persatuan pada kata “Kita,”. Kata “Kita,” dialihkan kepada pronomina “Kami,” yang memperuncing polarisasi . Kata “Kami” menjadi perekat bagi komunitas yang memiliki identitas primordial. Ironisnya, rujukan kata ganti “Kami,” tersebut adalah agama. Bisa dikatakan, polarisasi sejatinya telah menjadi agenda politik ketika itu.

Terdapat beberapa kasus agama yang mempengaruhi persepsi masyarakat dalam pemilu 2019, seperti strategi mendulang suara pemilih Muslim dengan memanfaatkan Aksi 212, dukungan oleh ijtima’ ulama Gerakan Nasional Penjaga Fatwa (GNPF) MUI untuk kandidat calon presiden Prabowo Subianto, dan langkah petahana Presiden Joko Widodo “meminang” Ma’ruf Amin – petinggi Nadhlatul Ulama – sebagai calon wakil presiden.

Pada pilpres 2024, pasar politik identitas tidak selaris 2019. Arus preferensi masyarakat terhadap politik telah berubah dengan semakin tingginya perhatian mereka kepada isu-isu kenegaraan. The Conversation Indonesia mengadakan diskusi dengan para pakar di bidangnya mengenai isu ini. Mereka sepakat bahwa politik identitas kemungkinan besar tidak akan laku lagi untuk digunakan sebagai alat menarik suara pemilih.

Menurut Ismail Fahmi, dosen informatika dari Universitas Islam Indonesia (UII), politik identitas kemungkinan masih akan dipakai dalam konteks negatif. Upaya menyerang personal lawan politik dengan isu identitas sulit untuk dielakkan bahkan di tahun 2024. Tetapi, isu identitas tidak mungkin dipakai dalam mempromosikan pasangan calon (paslon). Shafiq Pontoh, praktisi media sosial yang juga Chief Strategy Officer Provetic Indonesia, menyatakan bahwa situasi pandemi kemarin memaksa masyarakat untuk lebih melek dengan media digital. Keadaan ini secara tidak terelakkan menciptakan generasi searching yang mampu mencari beragam informasi sehingga daya kritis semakin meningkat.

Lantas, strategi politik naratif apa yang akan dipersiapkan para calon di pemilu 2024?

Berdasarkan hasil penelitian Wawan Mas’udi – dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) – terhadap strategi paslon dalam pilkada kabupaten 2017 di Yogyakarta, Ia menemukan ada 3 strategi politik ketika itu; strategi politik program, strategi politik uang, dan strategi politik identitas. Paslon yang yakin menang – berdasarkan survei lokal dengan selisih suara 80% – ternyata hanya menggunakan strategi politik program. Wawan meyakini bahwa pada pemilu 2024 setiap paslon akan mempersiapkan tiga strategi ini lagi. Namun, politik program menjadi senjata utama dalam strategi politik naratif. Ini mulai tampak dari tuntutan massa agar mulai membicarakan gagasan.

Saat ini, Generasi muda akan menjadi sasaran empuk bagi pihak-pihak politis. Berdasarkan Badan Pusat Statistik, sebanyak 69.38 juta atau 25,87% dari total penduduk Indonesia merupakan generasi milenial (kelahiran 1980-1996) dan 60 juta orang dari generasi Z (kelahiran 1997-2012). Hasil pengamatan Provetic – lembaga konsultan berbasis analisis data – Kelompok milenial cenderung mencari konten terkait parenting dan karier, karena sebagian besar kelompok ini sekarang sudah menikah dan baru memiliki anak. Sementara berdasarkan hasil survei McKinsey, generasi Z banyak menghabiskan penelusuran internetnya pada media sosial. Akan susah untuk memainkan identitas jika tren generasi muda tidak tepat untuk diprovokasi. Maka, narasi politik kini mengarah kepada tawaran program dan gagasan.

Perubahan tren konstituen pada pemilu kali ini memaksa para pihak berkepentingan untuk merubah haluan narasi politik mereka. Maka tidak heran jika isu-isu yang diangkat saat ini beradaptasi dengan kecenderungan generasi muda. Para calon presiden tidak segan untuk menghadiri sejumlah event yang diadakan pemuda, seperti talk show dan podcast. Beberapa forum tanya-jawab juga dihadiri untuk membongkar cara pikir para calon. Gerakan pemuda untuk mengawal demokrasi yang lebih jernih dengan mengajak dialog para capres sangat bagus. Hanya saja, kita tetap khawatir ada taktik narasi yang tidak kita sadari berjalan di balik usaha generasi muda.

Beginilah politik naratif berkembang. Selama dua periode pemilu, kita sulit melepaskan diri dari politik naratif. Apakah kali ini kita akan kecolongan lagi?

Narasi memang mengendalikan kehidupan kita, identik dengan politik itu sendiri. Ia bekerja pada tingkat perilaku kolektif manusia dan membentuk serta mengekspresikan identitas politik, perspektif, dan ideologi. Narasi juga digunakan sebagai cara memahami dunia dan memberinya makna. Semua ekspresi kita digerakkan oleh narasi. Narasi yang menggumpal di kepala individu akan menuntunnya pada keputusan dan tindakan. Bisa dikatakan, politik dan narasi sangat sulit dilepaskan.

Hakikat Narasi dan Kengeriannya dalam Perpolitikan

Menurut Hagstron dan Gustafsson (2019), narasi-narasi politik bisa dipelajari melalui naratologi. Secara teoritis, naratologi sangat kurang dalam unsur positivistik. Narasi memberikan makna pada apa yang terjadi, bagaimana, di mana, kapan dan mengapa itu terjadi dan siapa protagonisnya melalui metode inklusi dan eksklusi, pilihan leksikal, manipulasi perbedaan relasional yang berhubungan dengan identitas. Oleh karena itu semua narasi adalah konstruksi pemaknaan yang bersifat politis dan subjektif, dan wadah kontestasi intersubjektif kepentingan para konstruktor atau narator. Sebuah narasi, bagaimanapun, dicirikan dengan pesan-pesan subjektif yang memberikan pelajaran untuk masa depan dan saran tentang kebijakan mana yang masuk akal dan realistis untuk diadopsi dan didukung (Hagstrِm & Gustafsson, 2019).

Bisa kita pahami mengapa narasi politik mampu menjadi alat yang digunakan oleh tokoh politik untuk membangun perspektif masyarakat. Pada taraf tertentu, satu narasi politik yang benar-benar mengena dengan tren yang berlaku di suatu situasi secara jitu mampu memberikan pengaruh psikis.

Kasus pengaruh politik naratif terhadap perspsi masyarakat terlihat dari hasil survey Surabaya Research Syndicate (SRS) terhadap elektabilitas Prabowo (15/8/2023), di Jawa Timur. Menurut salah satu tim SRS, Abdul, faktor utama yang membuat elektabilitas Prabowo semakin dominan atas Ganjar dan Anies adalah fenomena Jokowi Effect. Berdasarkan hasil survei SRS, 43,6% responden di Jawa Timur meyakini Presiden Jokowi memberikan endorsement kepada Prabowo untuk menjadi Presiden RI 2024-2029. Narasi yang muncul di permukaan dan memberi pengaruh ini merupakan influencing figur politik.

Di titik inilah, peran dominan narasi dalam wacana politik mendapatkan posisi sentral dalam menciptakan kepentingan. Sebagai sarana efektif dalam menyederhanakan situasi kompleks ke dalam sebuah rentetan peristiwa, narasi dengan cepat menjadi sesuatu yang popular. Bagaikan daya pikat drama Korea, narasi yang memikat tampak jauh lebih kuat dampaknya ketimbang paradigma logis-ilmiah.

Gustav Le Bon mengungkapkan bahwa kata-kata justru memberikan racun pengaruh lebih besar. Contoh sederhananya adalah narasi-narasi yang menggerakkan seperti demokrasi, kebebasan, keadilan, supremasi hukum dan sebagainya. Ajaibnya, sepotong kata yang singkat itu seakan mengandung solusi untuk segala persoalan, memuat beragam aspirasi dan memiliki daya desak untuk segera diwujudkan. Lantas, bagaimana kuatnya rangkaian beberapa kata serta relate dengan tren masyarakat?.

Le Bon juga menjelaskan bahwa narasi bekerja sangat efektif dan bahkan punya daya tular seperti virus. Produksi narasi itu sendiri bergerak dalam sebuah pola: penegasan (affirmation), pengulangan (repetition) dan penularan (contagion). Media online menjadi sarana yang memungkinkan serangkaian pola penularan ini berjalan dalam satu waktu yang singkat. Siapa yang tidak bergidik jika membayangkan kekuatan narasi benar-benar digunakan sebagai senjata utama politik melalui media online?.

Melihat produksi kata-kata yang masif di media sosial oleh warganet, atau jejaring massa yang terhubung secara digital, dengan tingkat penggunaan internet yang tinggi, tampaknya tak heran jika pendekatan populisme yang tampil sebagai sebuah gaya politik, terlebih dengan memainkan sentimen atau emosi publik. Situasi ini sangat strategis untuk menularkan narasi-narasi politik lebih cepat.

Sebutlah salah satu fenomena yang sedang hangat sekarang adalah naiknya Gibran Rangka Bumi sebagai pendamping capres Prabowo. Sempat tersebar narasi dari Wakil Ketua Pembina Partai Gerindra, naiknya Gibran adalah representasi kebangkitan pemuda. Efeknya, narasi kebangkitan pemuda ini berdampak pada kenaikan elektabilitas paslon Jokowi-Gibran dari 38,1 persen menjadi 52,4 persen. Selain narasi ini membawa aspirasi kompleks seputar pemuda, penyebarannya di media online yang masif mempertajam pengaruhnya dengan penularan yang cepat, sebagaimana penjelasan Le Bon.

Generasi Muda Melawan Politik Naratif, Mungkinkah?

Sayangnya, satu-satunya cara untuk melawan politik naratif adalah sikap berpolitik rasional. Ini terdengar relevan karena kesannya mengembalikan sense politik kepada akal. Rasional yang dimaksud adalah perilaku politik dari rakyat yang mengedepankan independensi dan intelektualitas dalam mengartikulasikan pendapatnya. Kedua sumber itulah yang menjadi basis perilaku politik. Sikap berpolitik rasio merupakan refleksi dari demokrasi mahzab Aristotelian yang melihat manusia sebagai zoon politicon yang mandiri dalam menyikapi sesuatu.

Sikap berpolitik rasional berarti menggencarkan gerakan literasi, pengumpulan fakta, hingga penilaian secara rasio. Kegiatan ini berusaha melepaskan keterikatan antara politik dan narasi, sehingga, keterlibatan emosional terpinggirkan. Perilaku ini pada dasarnya merupakan bentuk manifestasi dan ekspresi kesadaran berpolitik. Masalah perilaku tersebut sangatlah tergantung dengan konteks preferensi politik yang mempengaruhinya dalam melihat dan menyikapi situasi politik kekinian.

Sudah banyak survey yang mencoba menelaah tingkat preferensi anak muda terhadap isu-isu politik. Di antaranya ada yang tingkat kampus, seperti Universitas Jambi, tingkat lokal seperti Kota Batu dan Malang hingga melibatkan 719 mahasiswa yang tersebar di lebih dari 30 perguruan tinggi dari berbagai provinsi di Indonesia. Rata-rata survei tersebut menunjukkan tingkat preferensi terhadap politik yang memadai.

Dengan indonesia yang mengalami bonus demografi, sebanyak 60% dari jumlah pemilih di Indonesia merupakan gen Z, sangat berpotensi untuk melawan politik naratif. Secara historis, gerakan pemuda di Indonesia telah memainkan peran transformatif. Sumpah Pemuda pada 1928 bukan hanya deklarasi, melainkan juga kekuatan yang menggembleng untuk melawan pemerintahan kolonial. Demikian pula, gerakan Reformasi melihat pemuda sebagai garda terdepan dan pusat, menantang status quo orde baru.

Pemuda sebagai koagulan massa – meminjam istilah Rocky Gerung – bisa membelokkan tren politik naratif menjadi tren kajian problem kemasyarakatan yang substantif dengan sikap berpolitik rasio. Kita berharap ke depannya berita-berita yang diangkat menjelang pemilu adalah upaya serius dari para calon untuk mengkaji dan menjawab semua permasalahan kemasyarakatan di Indonesia. Mulai dari generasi ini, budaya pemilu indonesia harus berubah.

....

  1. Populisme adalah sejumlah pendekatan politik yang dengan sengaja menyebut kepentingan “rakyat” yang sering kali dilawankan dengan kepentingan suatu kelompok yang disebut “elite”. Misalkan, suatu negara memiliki jumlah masyarakat miskin yang lebih banyak dari masyarakat kaya. Maka, isu-isu yang diangkat akan berkenaan dengan masyarakat dominan (pure people). Di Indonesia sekarang, generasi muda lah yang menjadi pure people. (Wikipedia).

Daftar Rujukan

  • Hagström, L., & Gustafsson, K. (2019). Narrative power: how storytelling shapes East Asian international politics. Cambridge Review of International Affairs, 32(4), 387-406. doi:DOI: 10.1080/09557571.2019.1623498
  • Mudzakkir, Amin.2019.”Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 3(1): 65-78.DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.05
  • https://dataindonesia.id/internet/detail/survei-gen-z-lebih-lama-main-medsos-dari-generasi-lain
  • https://www.antaranews.com/berita/3403362/menelisik-strategi-partai-politik-hadapi-pemilu-2024
  • https://theconversation.com/politik-identitas-tidak-akan-laku-dalam-pemilu-2024-tapi-paslon-tetap-akan-siapkan-strategi-ini-205624
  • https://kumparan.com/pengetahuan-umum/demografi-generasi-z-di-indonesia-beserta-karakteristiknya-20tlbbulJsL
  • https://indonesia.go.id/kategori/editorial/7510/milenial-indonesia-semakin-kaya?lang=1#:~:text=Sehingga%2C%20ini%20jadi%20daya%20dorong,87%25%20dari%20total%20penduduk%20Indonesia.
  • https://nasional.kompas.com/read/2023/10/24/12385791/gibran-rakabuming-antara-representasi-kaum-muda-dan-politik-dinasti?page=all
  • https://pemerintahan.umm.ac.id/id/berita/diskusi-politik-lokal-dan-preferensi-pemilih-muda-lab-ip-dan-lhkp-jawa-timur-kolaborasi-gelar-diskusi-ilmiah.html
  • https://dpp.fisipol.ugm.ac.id/rilis-hasil-survei-opini-dan-preferensi-politik-mahasiswa-indonesia-pada-pemilu-2024/
  • https://www.unja.ac.id/pandangan-mahasiswa-universitas-jambi-mengenai-pilpres-2024/

11 comments

bayu November 26, 2023 - 5:30 am

wow,, luar biasa

Reply
Bung M. Yoeki Hendra > November 26, 2023 - 5:34 am

mudah dicerna, wawasannya dalam, dan sangat logis, luar biasa. Selamat, dan sukses.😍👌

Reply
Ndutt. November 26, 2023 - 1:48 pm

gagasan yang sangat cermat sekali, ulusannya juga lugas dan mudah di cerna. Bravo penulis, kami nantikan lagi tulisanmu selanjutnya.

Reply
mas dul November 26, 2023 - 2:04 pm

luar biasa. keren keren

Reply
Ian Alexandrian November 26, 2023 - 2:04 pm

bukan hanya permukaan, ini sangat mendalam kawan! salam dari riau!!😁

Reply
Abdul qohar setianda S.E. November 26, 2023 - 3:51 pm

Stelah saya baca keseluruhan teks yg bersangkutan, kata2 anda memang mudah diambil sebagai pemahaman, apalagi peran politik yang berperan besar dalam pemerintahan, meski begitu saya takpernah berpikir memahami soal pemerintahan, yang berlaku di indonesia sebagai bentuk kekuasaan, mereka mengatur indonesia layaknya sebuah permainan, memutar balikkan ekonomi masyarakat tanpa rasa kasihan, namun narasi singkat yg terasa dihati saya sangat berkenan, membuka hati saya soal memahami politik pemerintahan, agar tidak mudah terkecoh dengan permainan elit di masa depan.
Terima kasih kawan, jasamu takkan terlupakan, meski singkat namun berhaluan.

Reply
Muhammad Rizki November 26, 2023 - 5:28 pm

isinya daging semua!!

Reply
Nilu preti November 26, 2023 - 10:12 pm

wah keren!
tulisannya sangat mudah dipahami.

Reply
Robi November 26, 2023 - 11:19 pm

Widi keren!

Reply
Mufazzal November 27, 2023 - 6:30 am

jelas dan padat
kerenn🔥

Reply
Teman November 27, 2023 - 8:59 pm

temen paling the best deh pokonya😁

Reply

Tinggalkan Komentar

Komentar Terbaru

  • Seoranko

    It appears that you know a lot about this topic. I expect…

  • Felix Meyer

    Truly appreciate your well-written posts. I have certainly picked up valuable insights…

  • VIEW NEWZ

    Very interesting news information that doesn't make you bored, especially the latest…

  • BERITA MANTUL

    One of the rare natural phenomena that will occur next month is…

  • 168NEWS

    Several central banks have begun considering raising interest rates to control rising…

Chat WhatsApp
Butuh Bantuan?
Selamat datang di Portal Berita Paradeshi. Untuk memudahkan pembaca dalam memahami beragam informasi yang kami sajikan, baik dalam bentuk berita ataupun artikel, seluruh konten yang dihadirkan kami kanalkan dalam beragam rubrik.

Silahkan menghubungi kami untuk mengetahui informasi lebih lanjut