1 comment 95 views

Politik Identitas dalam Pemilu 2024, Masihkah Relevan dalam Perspektif Gen Z?

Sebagai penganut demokrasi, pemilu menjadi “acara” terbesar yang diselenggarakan lima tahun sekali untuk menghimpun suara-suara rakyat dalam menentukan pemimpin negara. Indonesia yang mengamini demokrasi sebagai sistem politiknya mengharuskan penyelenggara dalam konteks ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelenggarakan pemilu dalam cara yang mandiri dan tetap sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang juga berlandaskan kepada asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. 

Menjelang kontestasi politik “terbesar” 2024, muncul kembali ide-ide tentang larangan kampanye negatif salah satunya terkait politik identitas. Dalam pembahasan mengapa kemudian muncul larangan untuk tidak mempolitisasi identitas maka akan beracuan kepada isu kontemporer yang terjadi sepanjang Pemilihan Gubernur 2017 dan Pemilu 2019. Politik identitas berperan besar di dalam dua kontestasi tersebut yang berimplikasi terhadap perpecahan dan degradasi nilai-nilai persaudaraan dengan narasi-narasi kebencian serta kebohongan. 

Waseem Hameed  kemudian mengklasifikasikan apa saja yang termasuk ke dalam identitas itu. Tulisannya membagi identitas seperti: umur, agama, kelas atau kasta, budaya, dialek, kecacatan, pendidikan, bahasa, etnis, kebangsaan, jenis kelamin, identitas gender, generasi, pekerjaan, afiliasi partai politik, orientasi seksual, tempat tinggal, dan status veteran. Ketika mengkhususkan pembahasan identitas politik yang terjadi di Indonesia, hal yang selalu menguat dan dijadikan sebagai alat politik adalah Suku, Agama, dan Ras (SARA)

Sebelum lebih jauh lagi membahas fenomena politik identitas yang ditakutkan hidup kembali dalam pemilu 2024 perlu adanya pembahasan mengenai ide pemisahan tentang agama dan negara sudah menjadi isu yang terus berkembang. Gunter W. Remmling seperti yang dikutip Agus Saputro  bahwa ide tentang agama dan politik sebagai hal yang terpisah akan tetapi keduanya memiliki peranan dalam sosial masyarakat. Agama menjadi penjaga aturan dengan norma dan nilai sesuai ajarannya, lalu sebagai pembentuk harmonisasi masyarakat. Politik kemudian yang khas dengan ide kekuasaannya berperan untuk mengintegrasikan regulasi-regulasinya. Dalam sejarah panjang Indonesia, keduanya digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap pendudukan kolonial yang termuat dalam organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) dan kemudian bertransformasi menjadi Partai Sarekat Islam. Maka dari itu, ide tentang agama dan politik bukanlah hal baru yang berkembang pasca reformasi saja.

Berkembangnya ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh banyaknya masyarakat khususnya pada saat ini adalah Generasi Z atau dikenal sebagai sebutan Gen Z. Sebutan ini direntangkan bagi seluruh generasi yang lahir antara tahun 1996 – 2012. Belakangan ini, Gen Z terus digadang-gadang sebagai pembawa perubahan untuk menuju Indonesia maju. Hal ini tidak lepas dari peranan Gen Z yang menjadi aktor intelektual dan pemeran utama di dalam bonus demografi nanti. Pemilu 2024 nantinya akan menjadi pemilu yang didominasi oleh anak-anak muda (generasi milenial dan generasi Z). KPU telah menetapkan daftar pemilih tetap sebanyak 204.807.222 juta pemilih dengan komposisi generasi milenial dan gen Z sebesar 113 juta pemilih atau setara dengan 56,45% dari keseluruhan pemilih. 

Kemajuan teknologi informasi dan pendidikan melahirkan sebuah istilah baru yang disematkan dalam identitas Gen Z. Agent of Change atau agen perubahan dibebankan kepada Gen Z. Mengapa kemudian sebutan tersebut disematkan terhadap identitas Gen Z tidak lepas dari kemajuan teknologi dan terbukanya akses terhadap pendidikan yang semakin mudah diakses melalui transformasi digital. Ruang digital yang semakin terbuka lebar memudahkan Gen Z dalam mengekspresikan sikapnya dalam lingkup sosial politik melalui cara-cara yang lebih kreatif. Mengenai permasalahan politik domestik, diharapkan dengan meningkatnya populasi Gen Z dapat membawa ide-ide baru yang ditawarkan atas permasalahan yang tidak kunjung teratasi seperti politik identitas dalam pemilihan umum. Sebagai Gen Z, penulis mencoba memberikan perspektif atas permasalahan politik identitas dalam kontestasi politik Indonesia.

Politik Identitas

Merujuk kepada perkembangan ilmu politik, politik identitas terbagi secara lugas antara politik identitas dan identitas politik. Politik identitas adalah mekanisme politik yang memobilisasi identitas (sosial dan politik) untuk menjadi sumber dan sarana politik, sedangkan identitas politik adalah posisi kepentingan subjek dalam suatu komunitas politik.   Jika dilihat dalam perspektif rentangan waktu, ketertarikan ilmuwan terhadap politik identitas baru terjadi pada 1970-an yang terjadi di Amerika Serikat ketika muncul berbagai permasalahan yang menyangkut identitas seperti minoritas, gender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok lainnya yang termarjinalkan dalam tatanan sosial.  Namun, secara garis besar kemunculan fenomena politik identitas tidak lepas dari dominasi besar yang kuat dan menggeserkan kelompok-kelompok kecil lainnya yang dipinggirkan sehingga membentuk ketidakadilan dan diskriminasi.

Pierre Van Den Bergh dan Ubed Abdilah dalam tulisan Endang Sari membagi ketiga paradigma tentang identitas yakni sebagai berikut:

Fenomena Politik Identitas di Indonesia

 
Fenomena tentang identitas dalam politik di Indonesia lebih cocok dikaitkan dengan paradigma instrumentalisme dimana identitas dalam hal ini agama dijadikan sebagai sebuah sarana untuk memobilisasi suara dan meraup massa dengan identitas yang sama. Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019 menjadi peristiwa yang selalu erat ketika menuliskan tentang maraknya politik identitas di Indonesia. Bagaimana peristiwa Pilkada DKI Jakarta 2017 yang bermula dari sebuah unggahan video Basuki Tjahaja Purnama begitu akrab disapa Ahok ini mengutip ayat salah satu kitab suci agama Islam dan berujung kepada demonstrasi besar-besaran. 
 
Berangkat dari fenomena tersebut, pernyataan Ahok yang sebelumnya diunggah dalam Youtube tidak melahirkan respon apapun, sampai pada akhirnya muncul sebuah unggahan di laman Facebook Buni Yani yang ternyata video tersebut telah disunting dengan menghilangkan kata-kata video aslinya. Naiknya video tersebut memicu amarah dari orang-orang yang merasa Ahok telah menghina agama Islam dengan narasi Ahok menistakan Alquran karena narasinya tersebut. Sebagai respon umat Islam, maka lahirlah gerakan-gerakan besar seperti Gerakan 411 dan terbesarnya adalah Gerakan 212. Gerakan-gerakan tersebut umumnya terlihat seperti gerakan demonstrasi biasa, hanya saja mereka yang tergabung di dalamnya menuntut pemerintah untuk memenjarakan Ahok si Penista Agama.
 
Gerakan yang digagas oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) ini dinyatakan berhasil pemerintah “berhasil” memenjarakan Ahok. Sayangnya, dalam gerakan-gerakan yang dilakukan, Ahok sebagai double minority yang beretnis Tionghoa dan beragama Kristen ini yang berujung menjadi diskriminasi besar-besaran. Lahir ujaran-ujaran kebencian yang tidak hanya dilakukan oleh para orang-orang dewasa, namun, dilakukan juga oleh para remaja bahkan anak-anak kecil yang tidak mengetahui permasalahannya. Tidak berhenti di sana, isu di sini membahayakan anak-anak, karena tertangkap dalam sebuah unggahan ada seruan untuk membunuh Ahok yang diutarakan oleh anak-anak dalam sebuah pawai. 
 
Ahok yang menjadi kandidat gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 ini tentu permasalahan tadi menjadi mimpi buruk baginya. Bagaimana tidak, isu-isu Ahok anti Islam semakin menguat. Ahok sebagai minoritas dan menguatnya Aksi 212 yang identik dengan agama Islam ini dimanfaatkan oleh lawan politiknya. Mardani Ali Sera sebagai ketua Tim Pemenangan Anies-Sandi dengan sadar mengatakan bahwa ia memanfaatkan Aksi 212 sebagai sarana untuk mencari suara dalam pemilihan. Dilansir dalam CNN Indonesia , Mardani menyebutkan strategi yang mereka manfaatkan: 1) mengubah penampilan Anies-Sandi yang sebelumnya tidak menggunakan peci untuk mengambil foto terbaru dengan memakai peci. 2) Mardani menemui Rizieq Shihab yang saat itu menjadi ketua FPI atau penulis sebut sebagai “pahlawan baru” dalam Gerakan 212. Dimana peci dan Rizieq Shihab pada saat itu kental sekali kaitannya dengan agama Islam. 
 
Fenomena yang terjadi tidak hanya sebatas Gerakan 212 dan Pilkada DKI Jakarta 2017 saja, hal ini berlanjut sebagai dampak dari menguatnya kelompok-kelompok masyarakat yang berbasiskan agama dan fenomena Ahok terhadap Pilpres 2019. Para kedua Pasangan Calon sama-sama menggunakan agama sebagai sarana politiknya. Lahirnya narasi-narasi “memilih pemimpin yang seiman” terus dibawakan sampai pada Pilpres 2019 yang digunakan untuk menyerang Paslon lainnya yakni pasangan Jokowi-Amin. Sebagai “tameng” untuk membendung narasi bahwa Jokowi anti Islam, antek asing, dan isu-isu komunisme yang memiliki distorsi negatif dalam pemahaman masyarakat di Indonesia, Jokowi menggandeng K.H Ma’ruf Amin yang merupakan seorang ulama besar dan terpandang di Indonesia yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
 
Strategi Jokowi yang dinilai oleh banyak pemikir disebut-sebut sebagai antisipasi terhadap narasi “anti Islam”. Jokowi paham betul bahwa instrumen agama sangat penting dan agama Islam merupakan agama terbesar di Indonesia. Mengingat fenomena yang terjadi pada tahun 2017, Jokowi memiliki strategi dalam menghapus narasi-narasi liar dengan mengajak tokoh besar umat Islam untuk “masuk” bersamanya dalam Istana Negara.  
 
Tidak ada yang salah dalam strategi-strategi politik yang digunakan. Ibaratkan “perang”, tentu para kubu memiliki strategi pemenangannya masing-masing. Tetapi, dalam konteks politik identitas, sangatlah berbahaya apabila identitas yang ada dipolitisasi dan ditunggangi sebagai akses untuk meraih kekuasaan. Hal ini dapat memecah belah masyarakat dan membutakan banyak orang. Aktor-aktor politik tentu memiliki tanggung jawab atas politisasi identitas yang mereka lakukan. Perpecahan di dalam masyarakat yang terbagi atas dua kubu, apabila dalam konteks Pilpres 2019 adalah kubu “Cebong” dan kubu “Kampret”, dapat memicu konflik-konflik internal yang sebenarnya konflik tersebut tidak perlu terjadi. 
 
Dalam kasus Ahok dan gerakan-gerakan yang menentangnya, mungkin perlu diingat kembali terjadi perpecahan yang mendalam. Bagaimana diskriminasi terjadi terhadap pendukung Ahok. Heyder Affan  dalam BBC Indonesia menghimpun fenomena yang terjadi akibat perbedaan tersebut. Misalnya, Affan menjelaskan tentang adanya seruan untuk tidak mensholatkan jenazah pendukung & pembela penista agama (Ahok). Tulisan tersebut terpampang dengan spanduk di halaman Masjid Mubasysyirin, Jakarta Selatan. Bukan saja dinilai tidak etis dalam mempolitisasi identitas, tetapi hal tersebut akan melahirkan kebencian-kebencian yang kuat dalam masyarakat. 
 

Perspektif Gen Z dalam Politik Identitas

Data yang direkapitulasi oleh KPU menyebutkan 46.8 juta pemilih pada 2024 berasal dari Generasi Z. Penelitian yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) Agustus 2022 silam menemukan fenomena pemilih muda yang meningkat pada tahun 2019 sebesar 5,4% dari tahun 2014. Meningkatnya partisipasi pemuda dalam pemilu apakah berimplikasi terhadap perbaikan kualitas demokrasi dan politik di Indonesia? Saya rasa tidak. Gagasan yang dibawakan oleh para bacapres masih terkesan “generalis”. Menaruh harapan terhadap pemuda sebagai agen perubahan sudah seharusnya menempatkan isu-isu strategis yang menjadi permasalahan bagi pemuda selama ini. Trisha Husada selaku Wartawan BBC News Indonesia merangkum apa saja yang menjadi permasalahan anak muda menurut Badan Pusat Statistik 2022: 1) 26,4 juta anak muda tinggal di rumah yang tidak layak, 2) 25,2 juta anak muda miskin, 17,6 juta anak muda tidak bekerja, tidak bersekolah, atau menerima pelatihan.

Politik identitas tidak lagi relevan bagi Gen Z. Majunya pendidikan dan muncul platform-platform digital membawa Gen Z untuk lebih berpikir dan mengedepankan rasionalitas dalam pemilih. Belakangan ini muncul gagasan-gagasan yang dibuat oleh anak muda seperti Bijak Memilih, Teras Politik, Edupolithink, Total Politik sebagai sebuah wadah bagi pemuda-pemuda untuk lebih peka dan memiliki concern tentang kondisi politik dalam negeri. Isu identitas yang terjadi pada 2017 dan 2019 cukup dijadikan sebagai pembelajaran yang harus dikubur dalam-dalam. Keterbukaan akses Gen Z terhadap dunia digital membuat Gen Z lebih paham tentang isu apa yang lebih penting dan bagaimana memilih pemimpin dengan mengedepankan gagasan.

Peranan mahasiswa yang tergabung di dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia menggambarkan tentang pola-pola politik yang sudah berubah. Misal dalam pemilu 2019 lebih mengarahkan kekuatan buzzer-buzzer politik dan hoaks serta ujaran kebencian, pemilu 2024 harus belajar dan menghilangkan konotasi politik itu kotor. BEM UI membuat terobosan baru yakni adu gagasan ketiga bacapres. Hal ini menunjukkan adanya perubahan paradigma cara berpikir anak muda, tidak lagi diiming-imingi dengan membawa “identitas yang sama” tetapi mengedepankan gagasan. Lantaran, pemilu tidak hanya milik identitas tertentu, tetapi menjadi penentuan atas hidup orang banyak.

Penulis melakukan kuesioner singkat terhadap 23 mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, hasil dari kuesioner ini tidak menggambarkan populasi secara keseluruhan.

10 orang menyatakan sangat setuju terhadap peran sosial media dalam menyadarkan mereka tentang bahayanya politik identitas. Gen Z yang melek terhadap perubahan dan perkembangan secara digital memanfaatkan sosial media sebagai tempat untuk mengikuti isu-isu politik dalam negeri.

19 menyatakan sangat setuju bahwa sosial media berperan dalam penyebaran informasi tentang politik. Hal ini yang kemudian juga dimanfaatkan oleh para bacapres untuk meraih suara pemuda yakni memanfaatkan sosial media. Sosial media yang sekarang dapat dikatakan masif dalam mengumpulkan atensi adalah Tiktok. Ganjar Pranowo merupakan salah satu capres yang sudah aktif dan menggunakan Tiktok sebagai sarana politiknya. Para Gen Z juga dapat mengomentari secara langsung terhadap konten-konten yang dibuatnya, keterbukaan terhadap informasi inilah yang kemudian menjadi penting.
 
Perspektif penulis selaku Gen Z memandang bahwa pemilu 2024 sudah waktunya bertransformasi menjadi pemilu yang mengedepankan gagasan dan ide-ide brilian. Mempolitisasi identitas sudah tidak lagi menjadi isu yang dapat menarik minat pemilih. Gen Z sebagai generasi muda sadar akan bahayanya politik identitas dengan memiliki kesadaran yang tinggi. Visi-Misi para calon pun sudah dapat diakses secara bebas di sosial media, biarkan pemilu 2024 dinilai atas gagasan yang dibawakan. 
 
Rasanya sudah cukup bahwa politik identitas membawa sejarah kelam di Indonesia pada 2017 dan 2019 yang berujung pada perpecahan antar dua kubu. Pemilu 2024 harus mengedepankan rasionalitas, dan ide-ide cerdas. Majunya sosial media membuat Gen Z semakin mudah untuk menyuarakan aspirasi dan keluhan atas permasalahan yang tidak pernah selesai di dalam negeri seperti isu pendidikan. Berbagai cara seperti petisi, video, ataupun sekadar tulisan dapat membawa perubahan besar. Ingat peranan seorang pemuda bernama Bima yang mengkritisi kondisi jalanan di Kota Lampung membuat geger pemerintah Lampung pada saat itu. Kita sebagai Gen Z juga bisa ikut menyuarakan agar para capres tidak menunggangi identitas untuk meraih kekuasaan politik. 
 
Gen Z yang sudah mapan secara pemikiran ini perlu dimanfaatkan perannya sebagai “pengawas pemilu”. Proses pertukaran informasi yang sangat cepat dan masif ini dapat digunakan sebagai modal awal dalam mengkritisi kondisi politik Indonesia. Dengan digaungkan pemilu 2024 sebagai pemilunya anak muda semoga dapat merubah paradigma berpikir para capres dalam menyusun strategi pemilunya. 
 

Kesimpulan

 
Politik identitas di Indonesia telah terjadi dalam berbagai fenomena seperti Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019. Hal ini menandakan Indonesia pernah terjebak di dalam masa-masa “politisasi identitas”. Yang salah adalah ketika terjadi politisasi identitas yang berujung kepada diskriminasi dan perpecahan. Masyarakat Indonesia sudah terpecah dalam Pemilu 2019. Dominasi pemuda pada Pemilu 2024 membawa pemilihan pada saat itu menjadi pemilihan yang rasional dan sehat, tidak ada lagi politik identitas sebagai strategi pemenangannya. Sebagai Gen Z, kita harus menekankan pentingnya adu gagasan dalam proses perolehan suara dibandingkan membawa identitas tertentu. Majunya pendidikan dan teknologi informasi menciptakan ekosistem baru yang sehat dalam politik sehingga tidak ada lagi sentimen politik yang kotor di mata Gen Z. Berbagai inovasi dilakukan oleh para pemuda seperti Bijak Memilih yang membuat sebuah platform track record partai politik yang bisa diakses secara umum. Sudah waktunya pemilu 2024 mengedepankan inovasi-inovasi dan gagasan sebagai jawaban atas permasalahan yang tidak kunjung selesai di Indonesia.
 
Saya sebagai Gen Z, menolak politik identitas!

Referensi

  • Affan, H. (2017, Februari 27). Seruan tidak mensalatkan pro-Ahok ‘tak sesuai ajaran Islam’. diakses dari BBC News Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39097303
  • Agung, B. (2018, Juli 12). CNN Indonesia. diakses dari Mardani Akui Manfaatkan Aksi 212 untuk Menangkan Anies-Sandi: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180712200852-32-313676/mardani-akui-manfaatkan-aksi-212-untuk-menangkan-anies-sandi
  • Hameed, W. (2019, Juni 6). Identity Politics & Intelligent Democracy. diakses dari Colombo Celegraph: https://www.colombotelegraph.com/index.php/identity-politics-intelligent-democracy/
  • Husada, T. (2023, Oktober 24). Suara pemuda dalam Pemilu 2024, sekadar komoditas politik atau benar-benar didengar aspirasinya? diakses dari BBC News Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/articles/c29814geg2eo
  • Muhamad, N. (2023, Juli 05). KPU: Pemilih Pemilu 2024 Didominasi oleh Kelompok Gen Z dan Milenial. diakses dari Databoks: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/07/05/kpu-pemilih-pemilu-2024-didominasi-oleh-kelompok-gen-z-dan-milenial
  • Castells, M. (2010). The Power of Identity. UK: Wiley-Blackwell.
  • Maarif, A. S. (2012). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: Democracy Project : Yayasan Abad Demokrasi.
  • Haboddin, M. (2012). Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal. Jurnal Studi Pemerintahan, 116-134.
  • Saputro, A. (2018). Agama dan Negara : Politik Identitas Menuju Pilpres 2019. Asketik, 111-120.
  • Sari, E. (2016). Kebangkitan Politik Identitas Islam Pada Arena Pemilihan Gubernur Jakarta. KRITIS: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 145-156.
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal (1) Nomor (8) dan Pasal (2) tentang Pemilihan Umum.

1 comment

kai November 25, 2023 - 10:22 am

kerenn

Reply

Tinggalkan Komentar

Komentar Terbaru

  • Seoranko

    It appears that you know a lot about this topic. I expect…

  • Felix Meyer

    Truly appreciate your well-written posts. I have certainly picked up valuable insights…

  • VIEW NEWZ

    Very interesting news information that doesn't make you bored, especially the latest…

  • BERITA MANTUL

    One of the rare natural phenomena that will occur next month is…

  • 168NEWS

    Several central banks have begun considering raising interest rates to control rising…

Chat WhatsApp
Butuh Bantuan?
Selamat datang di Portal Berita Paradeshi. Untuk memudahkan pembaca dalam memahami beragam informasi yang kami sajikan, baik dalam bentuk berita ataupun artikel, seluruh konten yang dihadirkan kami kanalkan dalam beragam rubrik.

Silahkan menghubungi kami untuk mengetahui informasi lebih lanjut