Sebagai penganut demokrasi, pemilu menjadi “acara” terbesar yang diselenggarakan lima tahun sekali untuk menghimpun suara-suara rakyat dalam menentukan pemimpin negara. Indonesia yang mengamini demokrasi sebagai sistem politiknya mengharuskan penyelenggara dalam konteks ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelenggarakan pemilu dalam cara yang mandiri dan tetap sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang juga berlandaskan kepada asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Menjelang kontestasi politik “terbesar” 2024, muncul kembali ide-ide tentang larangan kampanye negatif salah satunya terkait politik identitas. Dalam pembahasan mengapa kemudian muncul larangan untuk tidak mempolitisasi identitas maka akan beracuan kepada isu kontemporer yang terjadi sepanjang Pemilihan Gubernur 2017 dan Pemilu 2019. Politik identitas berperan besar di dalam dua kontestasi tersebut yang berimplikasi terhadap perpecahan dan degradasi nilai-nilai persaudaraan dengan narasi-narasi kebencian serta kebohongan.
Waseem Hameed kemudian mengklasifikasikan apa saja yang termasuk ke dalam identitas itu. Tulisannya membagi identitas seperti: umur, agama, kelas atau kasta, budaya, dialek, kecacatan, pendidikan, bahasa, etnis, kebangsaan, jenis kelamin, identitas gender, generasi, pekerjaan, afiliasi partai politik, orientasi seksual, tempat tinggal, dan status veteran. Ketika mengkhususkan pembahasan identitas politik yang terjadi di Indonesia, hal yang selalu menguat dan dijadikan sebagai alat politik adalah Suku, Agama, dan Ras (SARA)
Sebelum lebih jauh lagi membahas fenomena politik identitas yang ditakutkan hidup kembali dalam pemilu 2024 perlu adanya pembahasan mengenai ide pemisahan tentang agama dan negara sudah menjadi isu yang terus berkembang. Gunter W. Remmling seperti yang dikutip Agus Saputro bahwa ide tentang agama dan politik sebagai hal yang terpisah akan tetapi keduanya memiliki peranan dalam sosial masyarakat. Agama menjadi penjaga aturan dengan norma dan nilai sesuai ajarannya, lalu sebagai pembentuk harmonisasi masyarakat. Politik kemudian yang khas dengan ide kekuasaannya berperan untuk mengintegrasikan regulasi-regulasinya. Dalam sejarah panjang Indonesia, keduanya digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap pendudukan kolonial yang termuat dalam organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) dan kemudian bertransformasi menjadi Partai Sarekat Islam. Maka dari itu, ide tentang agama dan politik bukanlah hal baru yang berkembang pasca reformasi saja.
Berkembangnya ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh banyaknya masyarakat khususnya pada saat ini adalah Generasi Z atau dikenal sebagai sebutan Gen Z. Sebutan ini direntangkan bagi seluruh generasi yang lahir antara tahun 1996 – 2012. Belakangan ini, Gen Z terus digadang-gadang sebagai pembawa perubahan untuk menuju Indonesia maju. Hal ini tidak lepas dari peranan Gen Z yang menjadi aktor intelektual dan pemeran utama di dalam bonus demografi nanti. Pemilu 2024 nantinya akan menjadi pemilu yang didominasi oleh anak-anak muda (generasi milenial dan generasi Z). KPU telah menetapkan daftar pemilih tetap sebanyak 204.807.222 juta pemilih dengan komposisi generasi milenial dan gen Z sebesar 113 juta pemilih atau setara dengan 56,45% dari keseluruhan pemilih.
Kemajuan teknologi informasi dan pendidikan melahirkan sebuah istilah baru yang disematkan dalam identitas Gen Z. Agent of Change atau agen perubahan dibebankan kepada Gen Z. Mengapa kemudian sebutan tersebut disematkan terhadap identitas Gen Z tidak lepas dari kemajuan teknologi dan terbukanya akses terhadap pendidikan yang semakin mudah diakses melalui transformasi digital. Ruang digital yang semakin terbuka lebar memudahkan Gen Z dalam mengekspresikan sikapnya dalam lingkup sosial politik melalui cara-cara yang lebih kreatif. Mengenai permasalahan politik domestik, diharapkan dengan meningkatnya populasi Gen Z dapat membawa ide-ide baru yang ditawarkan atas permasalahan yang tidak kunjung teratasi seperti politik identitas dalam pemilihan umum. Sebagai Gen Z, penulis mencoba memberikan perspektif atas permasalahan politik identitas dalam kontestasi politik Indonesia.
Politik Identitas
Merujuk kepada perkembangan ilmu politik, politik identitas terbagi secara lugas antara politik identitas dan identitas politik. Politik identitas adalah mekanisme politik yang memobilisasi identitas (sosial dan politik) untuk menjadi sumber dan sarana politik, sedangkan identitas politik adalah posisi kepentingan subjek dalam suatu komunitas politik. Jika dilihat dalam perspektif rentangan waktu, ketertarikan ilmuwan terhadap politik identitas baru terjadi pada 1970-an yang terjadi di Amerika Serikat ketika muncul berbagai permasalahan yang menyangkut identitas seperti minoritas, gender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok lainnya yang termarjinalkan dalam tatanan sosial. Namun, secara garis besar kemunculan fenomena politik identitas tidak lepas dari dominasi besar yang kuat dan menggeserkan kelompok-kelompok kecil lainnya yang dipinggirkan sehingga membentuk ketidakadilan dan diskriminasi.
Fenomena Politik Identitas di Indonesia
Perspektif Gen Z dalam Politik Identitas
Data yang direkapitulasi oleh KPU menyebutkan 46.8 juta pemilih pada 2024 berasal dari Generasi Z. Penelitian yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) Agustus 2022 silam menemukan fenomena pemilih muda yang meningkat pada tahun 2019 sebesar 5,4% dari tahun 2014. Meningkatnya partisipasi pemuda dalam pemilu apakah berimplikasi terhadap perbaikan kualitas demokrasi dan politik di Indonesia? Saya rasa tidak. Gagasan yang dibawakan oleh para bacapres masih terkesan “generalis”. Menaruh harapan terhadap pemuda sebagai agen perubahan sudah seharusnya menempatkan isu-isu strategis yang menjadi permasalahan bagi pemuda selama ini. Trisha Husada selaku Wartawan BBC News Indonesia merangkum apa saja yang menjadi permasalahan anak muda menurut Badan Pusat Statistik 2022: 1) 26,4 juta anak muda tinggal di rumah yang tidak layak, 2) 25,2 juta anak muda miskin, 17,6 juta anak muda tidak bekerja, tidak bersekolah, atau menerima pelatihan.
Politik identitas tidak lagi relevan bagi Gen Z. Majunya pendidikan dan muncul platform-platform digital membawa Gen Z untuk lebih berpikir dan mengedepankan rasionalitas dalam pemilih. Belakangan ini muncul gagasan-gagasan yang dibuat oleh anak muda seperti Bijak Memilih, Teras Politik, Edupolithink, Total Politik sebagai sebuah wadah bagi pemuda-pemuda untuk lebih peka dan memiliki concern tentang kondisi politik dalam negeri. Isu identitas yang terjadi pada 2017 dan 2019 cukup dijadikan sebagai pembelajaran yang harus dikubur dalam-dalam. Keterbukaan akses Gen Z terhadap dunia digital membuat Gen Z lebih paham tentang isu apa yang lebih penting dan bagaimana memilih pemimpin dengan mengedepankan gagasan.
Peranan mahasiswa yang tergabung di dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia menggambarkan tentang pola-pola politik yang sudah berubah. Misal dalam pemilu 2019 lebih mengarahkan kekuatan buzzer-buzzer politik dan hoaks serta ujaran kebencian, pemilu 2024 harus belajar dan menghilangkan konotasi politik itu kotor. BEM UI membuat terobosan baru yakni adu gagasan ketiga bacapres. Hal ini menunjukkan adanya perubahan paradigma cara berpikir anak muda, tidak lagi diiming-imingi dengan membawa “identitas yang sama” tetapi mengedepankan gagasan. Lantaran, pemilu tidak hanya milik identitas tertentu, tetapi menjadi penentuan atas hidup orang banyak.
Penulis melakukan kuesioner singkat terhadap 23 mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, hasil dari kuesioner ini tidak menggambarkan populasi secara keseluruhan.
10 orang menyatakan sangat setuju terhadap peran sosial media dalam menyadarkan mereka tentang bahayanya politik identitas. Gen Z yang melek terhadap perubahan dan perkembangan secara digital memanfaatkan sosial media sebagai tempat untuk mengikuti isu-isu politik dalam negeri.
Kesimpulan
Referensi
- Affan, H. (2017, Februari 27). Seruan tidak mensalatkan pro-Ahok ‘tak sesuai ajaran Islam’. diakses dari BBC News Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39097303
- Agung, B. (2018, Juli 12). CNN Indonesia. diakses dari Mardani Akui Manfaatkan Aksi 212 untuk Menangkan Anies-Sandi: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180712200852-32-313676/mardani-akui-manfaatkan-aksi-212-untuk-menangkan-anies-sandi
- Hameed, W. (2019, Juni 6). Identity Politics & Intelligent Democracy. diakses dari Colombo Celegraph: https://www.colombotelegraph.com/index.php/identity-politics-intelligent-democracy/
- Husada, T. (2023, Oktober 24). Suara pemuda dalam Pemilu 2024, sekadar komoditas politik atau benar-benar didengar aspirasinya? diakses dari BBC News Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/articles/c29814geg2eo
- Muhamad, N. (2023, Juli 05). KPU: Pemilih Pemilu 2024 Didominasi oleh Kelompok Gen Z dan Milenial. diakses dari Databoks: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/07/05/kpu-pemilih-pemilu-2024-didominasi-oleh-kelompok-gen-z-dan-milenial
- Castells, M. (2010). The Power of Identity. UK: Wiley-Blackwell.
- Maarif, A. S. (2012). Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: Democracy Project : Yayasan Abad Demokrasi.
- Haboddin, M. (2012). Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal. Jurnal Studi Pemerintahan, 116-134.
- Saputro, A. (2018). Agama dan Negara : Politik Identitas Menuju Pilpres 2019. Asketik, 111-120.
- Sari, E. (2016). Kebangkitan Politik Identitas Islam Pada Arena Pemilihan Gubernur Jakarta. KRITIS: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 145-156.
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal (1) Nomor (8) dan Pasal (2) tentang Pemilihan Umum.
2 comments
kerenn
Superb layout and design, but most of all, concise and helpful information. Great job, site admin. Take a look at my website QH3 for some cool facts about Airport Transfer.