PENDAHULUAN
Problematika sistem demokrasi Indonesia mengalami konsolidasi mempuni setiap menjelang pemilu, dilihat dari berbagai pergejolakan seperti konteks pergolakan dinamis demokratisnya, hal demikian merupakan bentuk konkret demi aktualisasi demokrasi yang bersifat demokratis tanpa melakukan intervensi dan mementingkan personalisasi individual. Partai sebagai penunjang dan penegak pilar demokrasi sebagai urgensi kepentingan bersama atau sebagai kendaraan aspirasi masyarakat untuk direpresentasikan sebagai tata kelola negara yang berintegritas dan profesionalis. Perhelatan kaum nasionalis dan Islam menjadi pelik awal untuk mengulas dinamika perjalanan dalam demokrasi Indonesia, pada bulan Agustus tepatnya 1945 muncul beda persepsi dalam fragmentasi mengenai ideologi Pancasila, kaum Islam lebih condong terhadap nilai pertama tentang monoteisme bangsa Indonesia keorientasi pada dogma Islam semata, sedangkan nasionalis cenderung memiliki persepsi efektivitas jangka panjang dengan menelaah dan mereleksikan pluralisme demi terciptanya keutuhan masyarakat yang bertoleransi, pertentangan dua kubu dalam beda persepsi lebih spesifignya diperancukan kepada partai Masyumi dan Partai Nasional Indonesia.
Politik identitas digaungkan menjelang pemilu 2024 seutuhnya menginginkan adanya hegemonik populisme Islam, dengan refleksi sekulerisasi demi menghindari adanya popularisasi warga negara, adanya implementasi politik identitas partai berbasis Islam moderat cenderung mengalami stagnifikasi dan degradasi dalam kontelasi politik di Indonesia. Faktor stagnasi diperancukan sebagai behaviour masyarakat Indonesia yang lebih transformatif karena dilihat dalam historis kiprah partai Islam lebih berpotensi untuk kepentingan individual atau golongan, sedangkan subculture etnis suku, agama dan ras yang berbeda menjadi faktor tadensi yang diperhitungkan oleh masyarakat, oleh faktor disamping membuat rasional masyarakat condong kearah nasionalisme sehingga menyebabkan stagnasi yang bersutainable dari partai Islam.
Menelaah eksistensi politik identitas mulanya berasal dari negara “Paman Sam” atau Amerika, dimana kelompok minoritas mengalami marginalisasi dalam sistem demokrasi, sehingga minoritas menyuplai identitas sebagai programatik atau branding politik untuk urgensi seluruh kaum minoritas yang termarginalkan dengan membentuk sebuah kubu neo-superior, dengan merepresentasikan kendaraan partai politik sebagai penyuplai dalam kancah pemilu.
Konflik populisme agama dalam kontelasi politik sistem demokrasi di Irak menjadi dinamika politik yang perlu diperhatikan dan dijadikan sebuah validasi bagi konsolidasi demokrasi Indonesia, terdapat kelompok konservatif dan modernisasi di Irak menjadi agensi populisme untuk merebut kekuasaan dalam pergolakan sistem demokrasi, terjadinya pertentangan dan konflik internal pasca Saddam turun dari jabatannya yang dimenangkan oleh kelompok modernisasi, negara Irak cenderung di hegemonik oleh satu kelompok identitas dan lebih memprioritaskan kepentingan individual kelompoknya sehingga terjadinya depolarisasi politik berkepanjangan, seutuhnya paham nasionalis cenderung orientasi dan kiprahnya berlandaskan sekulerisasi dengan mengedepankan pluralisme sebagai koonseptualisasi keberagaman (Tunggul Ganggas Danisworo, 2013).
Dominasi dan eksistensi partai nasionalis di pemilu 2024 ditujukan pada kendaraan praktisi calon presiden Indonesia, dimana calon presiden yang akan berkompetisi dalam konstelasi politik lebih memilih tadensi bergulat keranah partai politik berbasis nasionalis yang ditujukan pada praktisi Anis Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Adanya dominasi partai politik nasionalis penulis mengidentifikasi dan merefleksikan pemikiran yang beraktualisasikan pada sistem demokrasi Indonesia akan mengalami peningkatan kualitas yang ideal secara signifikansi dan implementasi secara demokratis akan terwujud, faktor demikian diperancukan terhadap keberagaman dari sublucture Indonesia untuk menghindari konflik polarisasi sebagai penyelarasan pluralisme.
PEMBAHASAN
Partai Nasionalis Orientasi Penyuplai Kualitas Demokrasi Indonesia
Berlakunya politik etis yang direalisasikan dan diterapkan oleh Belanda masa kolonial merupakan perwujudan dan kemerdekaan secara mimbar rasional bangsa Hindia-Belanda atau Indonesia, tahun 1901 menjadi ladang awal cakrawala politik di Indonesia dimana tahun tersebut merupakan tahun pemberlakuan politik etis yang direalisasikan Belanda sebagai simpati atas kesengsaraan pribumi yang dijajah lebih dari tiga abad lamanya. Berlakunya politik etis membuat berbagai pergerakan dan pembentukan organisasi politik sebagai implementasi kesejahteraan bangsa Indonesia, Indische Partij adalah sektor penting embrio perjalanan politik di Indonesia, ideologi nasionalis mengupayakan adanya sekuler yang diterapkan dalam negara transeden, populasi mayoritas perlu adanya balance sebagai wujud toleransi tanpa marginalisasi (utomo, 2014).
Konflik internal pasca kemerdekaan Indonesia menjadi bukti konkret atas otoriteran dan otoritas individual, demokrasi parlementer tepatnya terdapat pertentangan potensi politik antara kaum nasionalis dan Islam (Usman, 2013), dimana Sokarno harus menghelakan nafas atas keklahan suara proporsional terbuka forum dalam pemilihan parlementer yang dimenangkan oleh Muhamad Natsir, konflik internal demikian menjadi pelik utama yang perlu diperhatikan secara diskursus karena dapat mengganggu sistematikan dan profesionalis partai dalam kinerjanya, disisi lain ketika muncul sebuah konflik akan menimbulkan sebuah perpecahan antar golongan serta menurunya kualitas dari sistem pemerintahan negara.
Otoritas pemerintahan dalam sistem demokrasi yang berpedoman sebagai perwujudan puralisme akan menuai sebuah integritas publik, terdapat poin urgensi dalam meningkatkan kualitas demokrasi, pertama kekuasaan bersifat demokratis, kedua, mampu mewujudkan dan mengimplementasikan pada aspek kesejahteraan, ketiga, kebenaran dan keadilan mampu dipadukan secara sistematika untuk mewujudkan kepentingan bersama, keempat, demokratis dalam aspek kebebasan yang memprioritaskan dalam mewadahi aspirasi secara inklusif (Adityawarman, 2020). Secara sistematika prosedural tersebut berorientasi dalam representasi partai politik sebagai agensi tranformasi yang nantinya akan menjadi hegemoni negara untuk menyuplai tatanan demokrasi yang lebih demokratis.
Eksistensi Partai Nasionalis di Pemilu 2024
Partai nasionalis berorientasi dan menjadi sayap kanan garda demokrasi Indonesia, nasionalis memprioritaskan aspek kebangsaan, toleransi dan keutuhan. Partai Islam di Indonesia memiliki kiprah yang kurang membolisasi massa sekalipun mayoritas umat Islam memiliki populasi yang ideal tetapi realita dilapangan cenderung masyrakat kurang partisipatif atas eksistensi partai Islam, faktor konkretnya partai Islam kurang mewadahi dari segi konstituen dan branding partai Islam cenderung berekspor pada kepentingan individual yang ditujukan pada partai kebangkitan bangsa misalnya, branding bintang sembilan menunjukan bahwasanya terdapat penggolongan satu golongan sebagai eksistensi dan mobilisasi kepentingan golongan dalam konstelasi politik. Behaviour masyarakat yang cenderung pasif dan kurang memprioritaskan penggolongan mayoritas menunjukan adanya kestabilan dari sistem demokrasi untuk menunjang dan memilih partai yang memiliki kategorisasi mencakup kepentingan bersama (Sirozi, 2005).
Mahfud MD dalam retorikanya yang dikutip melalui sumber kemitraan partnership mengatakan Indonesia masih mengalami penurunan stagnifikasi kualitas sistem demokrasi, reformasi politik dan hukum belum seutuhnya menunjukan peningkatan secara signifikansi, kinerja dalam pemerintahan belum menunjukan kualitas mempuni entah dalam ranah sinergitas antar lembaga maupun dengan civil society serta pembentukan persepsi publik perlu ditingkatkan. Faktor faktor disamping merupakan pilar utama dalam melihat gejolak yang timbul dalam tranmisi peningkatan kualitas demokrasi, peran civil society memiliki andil yang komprehensif sebagai arus pengawalan demokrasi, sepertihalnya partai politik sebagai agensi tranformasi demokrasi yang memiliki kualitas mempuni.
Partai nasionalis memiliki eksistensi yang ideal dalam membentuk dan meningkatkan kualitas demokrasi, sebab adanya realisasi ideologi nasionalis akan mengacu pada kepentingan nasional bukan melakukan diskriminasi dan marginalisasi terhadap kelompok tertenu. Konflik 212 pada tahun 2019 merupakan orientasi awal dinamika politik di Indonesia dalam sistem demokrasi yang kurang stabil dengan mengusung identitas Islam sebagai gerakanya, konteks konflik tersebut termasuk dalam krisis politik dan kepentingan golongan sehingga menimbulkan kesenjangan sosial yang memblowing, serta membuat carut marut sistem demokrasi yang kurang ideal sebab kurang menelaah dalam implementasi kepentingan bersifat nasional, partai
nasionalis menjadi agensi ideal dalam kontelasi pemilu sebab partisipasi masyarakat cenderung untuk berfikir secara rasional sebagai tombak awal tujuan pembentukan dan realisasi kepentingan nasional (Adam, 2022). Pasca reformasi menjadi efektifitas yang ditujukan kepada kendaraan partai politik dari pemimpin Indonesia, dimana dalam pemenangan pemilu partai nasional menjadi dominasi domestik yang ideal dalam persepsi publik, kemenangan tersebut diantaranya terhitung pada tahun pasca reformasi PDIP DAN Demokrat menjadi tadensi kemutahiran yang kompleks, nasionalis menjadi partai sentral yang memiliki substansi sebagai representasi masyarakat sebagai upaya pembentukan dan peningkatan kualitas demokrasi agar tidak tergerus pada dilematis kepentingan individual.
Menjelang pemilu calon presiden lebih dominan kearah nasional sebab eksistensi partai nasional menjadi ladang peluang pemenangan pemilu dan persepsi positif dalam kacamata publik, sebab partai nasional lebih dominan melakukan kepentingan bersama dan persepsi publik bermayoritas aktif memilih partai nasional. Berkesinambungan dengan hakikat politik identitas yang digaungkan menjelang pemilu mendatang seolah olah menentang eksistensi partai politik Islam. Manuver berilian para politikus dan praktisi politik lebih memprioritaskan dalam kepentingannya untuk menggait suara dengan masuk partai nasional. Beberapa kandidat yang akan berkompetisi dalam kontelasi politik di pemilu 2024 cenderung memilih partai nasional, yang dibuktikan dengan beberapa politikus calon presiden mendatang diantaranya Anis Baswedan dengan Nasdem, Ganjar Pranowo dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Prabowo Subianto dengan partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), tidak hanya partai nasional sebagai kendaraan politiknya tetapi branding elektabilitas dan kredibilitas dari kandidat yang kompeten akan menentukan mayoritas suara dilihat dari figure.
Dominasi Partai Nasionalis 2024 : Sebagai Pereduksian Populisme di Indonesia
Menjelang pemilu serentak para politikus dan partai politik mulai menggencarkan programatik politik sebagai langkah mempengaruhi pemilihnya, terkhusus partai nasionalis yang berhasil mendominasi pada pemilu 2024. Peningkatan secara signifikan terhadap dominasi partai politik nasionalis tidak terbantahkan sebab substansi nasionalis telah memiliki integritas yang bersustainable yang memiliki kualitas mempuni dalam mengorganisir negara secara kompleks, populisme menjadi tombak dasar perpecahan dimana ketika dari golongan mampu memobilisasi massa dan menerapkan satu identitas maka akan menimbulkan marginalisasi dan kepentingan individual dalam sistem demokrasi, poin disamping bisa digambarkan dari konflik internal negara Irak yang belum mendapatkan sentral atas krisis politik antar golongan mayoritas yang masih bersifat otoriterianisme dan intoleransi dalam egaliter, persolan identitas tidak bisa terlepaskan oleh diri manusia yang telah melekat sejak lahir, lantas persoalan pelarangan politik identitas menjelang pemilu serentak sebenarnya bukan untuk melarang seseorang dalam berpolitikus tetapi lebih membatasi kelompok yang berorientasi pada identitas golongan terkhusus Islam (Mitra, 2017). Faktor internal adanya pembatasan tersebut dipengaruhi oleh adanya keinginan peningkatan kualitas demokrasi yang berproyeksi pada partai nasionalis sehingga dengan realisasinya dalam membuat opini publik bersifat apriori sebagai hegemonik sekuler.
Terdapat beberapa tingkat level sebagai identifikasi pengorganisiran partai politik, pertama, level akar rumput dimana partai politik memproyeksikan dirinya sebagai wadah geliat aspirasi untuk mempangaruhi pemilihnya dalam konstelasi pemilu, kedua, level pusat pada tahapan pusat partai akan mengelola secara sistematika dan prosedural dalam upaya adaptabilitas dengan menelaah secara kompleks dalam negara, ketiga, level pemerintahan yang cenderung memperhatikan pada aspek geliat pemerintahan dalm berpolitik. Indonesia masih belum stabil dalam konteks demokrasi sehingga perlu mereformasi birokrasi lebih spesifignya pada lingkup partai politiknya, kendala yang menjadi pelik krisis politik Indonesia pada objek koalisi besar yang secara sistematika masih mengalami kelemahan dalam bersinergi atau tidak permanen, oleh faktor demikian mobilisasi melalui opini publik dengan berlakunya pelarangan politik identitas merupakan perwujudan manuver kendali dari golongan mayoritas sebagai proyeksi pluralisme dan peningkatan kualitas demokrasi Indonesia dalam pemilu serentak (Hendrizal, 2020).
Era society 5.0 menjadi hegemonik publik untuk mencapai kualitas dan kuantitas demokrasi, semakin tajam opini yang dimunculkan dan mengandung kontraversi maka kemungkinan besar programatik politik akan berhasil dalam hegemonik geliat politiknya, terdapat poin urgensi terhadap eksistensi partai nasional yang mendominasi pada konstelasi politik, pertama, sebagai realisasi peningkatan kualitas demokrasi Indonesia dengan penerapan pluralisme dan sekuler, kedua, menghindari konflik antar golongan terkhusus populisme Islam, ketiga, pengaruh opini publik sebagai hegemonik dan pembatasan partai Islam, keempat, sinergitas pemerintahan akan terus melanggeng dan manuver reformasi birokrasi pemerintahan beserta tata kelola yang telah terorganisir.
KESIMPULAN
Sistem pemerintahan bersifat demokrasi menjadi hakikat konkret dalam menjalin integritas atau kepentingan bersama, pasalnya dalam sistem demokrasi banyak dimanfaatkan kolektif golongan yang telah terorganisir dan sebagai ladang untuk realisasikan kepentingan personalisasi, sepertihalnya kasus di Irak terjadi pertentangan antara golongan Islam lebih tepatnya kelompok Syah dan Sunni dalam konflik krisis politik berkepanjangan. Adanya gejolak dan dinamika secara diskriminasi lebih khusus marginalisasi perlu adanya kubu sentral sebagai penguat legitimasi untuk tidak menjadikan populisme identitas sebagai agensi politik dalam pemilu, dominasi partai nasional dalam pemilu serentak di Indonesia memberikan proyeksi kompleks sebagai salah satu hegemonik atas populisme Islam, menjelang pemilu masyarakat Indonesia dari kalangan demografi produktif tidak asing dengan pelarangan politik identitas, oleh sebab demikian penulis mencoba untuk menelaah dan megkaji terkait dinamika partai politik nasionalis dan kiprahnya dalam arus perpolitikan, dalam analisis penulis mendapatkan beberapa poin urgen dan tranformasi dalam paradigma dominasi partai politik nasionalis di Indonesia lebih khususnya sebagai sentral pluralisme dan kepentingan nasional. adanya partai politik yang menaungi kepentingan nasional akan memberikan stimulus dalam bertoleransi serta kemungkinan besar dalam pemilu 2029 dominasi partai politik nasional kembali untuk mendominasi secara representatif, sebab nasionalis sendiri sudah mengakar pada idelogi negara Indonesia dan dalam kehidupan masyarakat, meskipun Indonesia mayoritas Islam realita menunjukan partai Islam belum mampu untuk membolisasi masa mayoritas secara utuh dan koherensi, secara kontan menunjukan integritas partai nasionalis telah berhasil mempengaruhi secara rasional dengan geliat opini publik dan mempengaruhi behaviour pemilih secara sustainable yang berkompetitif kompeten.
DAFTAR PUSTAKA
- Adam, Y. F. (2022). Islam dan Politik Identitas : Konflik pada Gerakan 212 dalam Perspektif Sejarah Indonesia. Nalar : Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam, 8-9.
- Adityawarman. (2020). PEMBANGUNAN POLITIK DAN KUALITAS DEMOKRASI. Jurnal
Moderat vol. 6 No. 2, 5-7. - Hendrizal. (2020). MENGULAS IDENTITAS NASIONAL BANGSA INDONESIA TERKINI. Jurnal
PPKN dan Hukum Vol. 15 No. 1, 7-8. - Mitra, B. (2017). NEGOSIASI DAKWAH DAN POLITIK PRAKTIS : MEMBACA ORIENTASI ORGANISASI SAYAP KEAGAMAAN ISLAM PADA PARTAI NASIONAL. al-Balagh :
Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 4-9. - Sirozi, M. (2005). Mengapa Partai Islam Gagal di Pentas Nasional. In M. Sirozi, Catatan Kritis Politik Islam Era Reformasi (pp. 3-6). Yogyakarta: AK Group .
- Tunggul Ganggas Danisworo, T. C. (2013). Dinamika Gerakan Etnonasionalisme Kurdi Irak.
Jurnal Ilmu Pemerintahan, 7-9. - Usman, M. H. (2013). KEBIJAKAN REZIM OTORITER TERHADAP ISLAM POLITIK. Jurnal CMES Vol. 6 No. 1, 11-12.
- utomo, W. S. (2014). Nasionalisme dan Gagasan Kebangsaan Indonesia Awal: Pemikiran Soewardi Suryaningnrat, Tjiptomangunkusumo, dan Douwes Deker 1912-1914. Lembaran Sejarah, 5-9.
1 comment
Your writing style is cool and I have learned several just right stuff here. I can see how much effort you’ve poured in to come up with such informative posts. If you need more input about Cosmetic Treatment, feel free to check out my website at QU5