0 comment 78 views

Superorganisme Gen Z Bergulat Dalam Politik Cocok Tanam Indonesia

Ketika potongan lirik lagu “Kolam Susu” dinyanyikan grup musik Koes Plus di album Volume 8 pada tahun 1973, “Orang bilang tanah kita tanah syurga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman,” cara bercocok tanam kita belum berevolusi memasuki era tanam transgenik. Ketika jaringan tumbuhan bisa menciptakan tanaman baru yang lebih instans, tapi rapuh. Lantas apa relevansinya dengan Gen Z dan topik politik kita?.

Sebagai negara agraris yang 80 persen penduduknya bergantung pada pertanian sejak awal kemerdekaan hingga Orde Baru, pertanian menjadi ruang bagi semua orang untuk bertahan hidup. Menjadi petani layaknya sebuah mekanisme mesin statis yang tidak ter-upgrade, tidak bisa digerakkan melebihi apa yang telah digariskan alam. Bertanam setahun sekali atau dua kali, dengan musim tanam yang sudah tertentu, dengan prosesi tanam dari turun temurun selalu sama.

Membersihkan lahan, menyemai bibit, menanam dengan metode mundur, menyiangi dan memberi pupuk dan mengusir hama–ikus, belalang dan burung serta wereng tanpa obat. Beberapa dengan tradisi kearifan lokal, menyediakan “hutan larangan” seperti di Aceh, sebagai cara mengumpulkan atau menyediakan ruang bagi hama untuk tinggal selama masa tanam, agar tidak menganggu. Lalu menunggu padi tumbuh, menguning dan dipanen di akhir semua ritual bercocok tanam.

Seiring masuknya industrialisasi di Inggris, mesin-mesin menggantikan tenaga manusia dalam pabrikasi, maka negeri agraris Indonesia juga mendapat kelimpahan berkahnya. Berkembang perlahan menuju era teknologi 2.0 dan terus merangkak hingga era teknologi 5.0 dimana pertanian menjadi bagian dari sebuah industri yang memperkerjakan mesin-mesin dalam mekanisme tanamnya.

Ekstensifikasi pertanian dengan memperluas lahan pertanian menjadi cara mengimbangi pertambahan dan pertumbuhan mulut-mulut baru penduduk yang membutuhkan tambahan jumlah makanan, dan menyembunyikan pengangguran terselubung dalam wujud tengaa kerja berlebih pada setiap lahan pertanian dengan penghasilan yang minim. Kondisi itu kemudian digantikan dengan intensifikasi meningkatkan hasil pertanian dengan mendayagunakan lahan, termasuk dengan cara instans—bibit unggul transgenik, pupuk pestisida, mesin pengolah lahan, mesin pemanen, sistem pengairan dengan energi terbarukan, hingga penanganan produksi paska panen—seperti pengalengan produk.

Politik Instan Homo Homini Lupus

Politik juga bergerak laksana perubahan teknologi 1.0 ke tingkat di atasnya. Dulu partai-partai menyeleksi orang-orang tertentu secara terpilih dan terpilah untuk bisa menduduki kursi-kursi partai di parlemen. Loyalitas dan militansi menjadi prasyarat—yang mengingatkan kita pada ospek di kampus, dengan keberadaan senioritas dalam kepartaian. Orang-orang tidak bisa seenaknya masuk partai seperti mendaftar seminar, membayar dan duduk dalam forum. Semuanya dalam antrian.

Lalu era teknologi 2.0 hingga 5.0 merubah kesakralan kepartaian menjadi sebuah formalitas politik. Maka politik bergerak dalam variasi baru yang serba instant. Uang dapat membeli kursi, begitu juga popularitas, lalu kekuasaan bisa mengintervensi, maka berbondong-bondong Orang Kaya Baru yang berspekulasi dengan modal, dan artis hingga pelawak memasuki ruang-ruang politik, meskipun tidak dibekali kemampuan berpolitik yang mumpuni dan tidak lagi melewati proses kaderisasi. Maka tidak heran jika sebuah meme di medsos menawarkan iklan—menyediakan badut dalam jumlah besar—hubungi kantor sekretariat dewan di Senayan.

Sebaliknya mereka yang berkomitmen, memiliki kapasitas tapi tidak melengkapi diri dengan sumber daya keuangan yang cukup, tersisihkan dari lingkaran politik, seperti terkurungnya kura-kura Galapagos atau berevolusinya burung finch dalam teori Darwin, yang tereliminasi karena desakan-desakan perebutan makanan dan unjuk kekuatan yang kuat bertahan, dalm konteks politik, tentu saja uang, kekuasaan dan polarisasi, sikat-sikut internal partai untuk merebut kursi-kursi. Wujud dari homo homoni lupus—manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya.

Pertanian instan menjadi sebuah analogi produk tanam yang dipercepat dengan metode tanam, media tanam, pupuk, bibit dan pestisida untuk membuat tanaman tumbuh dalam hitungan hari, dan padi bisa ditanam dan dipanen dua hingga empat kali dalam setahun. Mengabaikan daya dukung unsur hara tanah, ekosistem penopang, dan kondisi cuaca yang dapat diatur. Politik pada akhirnya juga menduplikasi sistem ini.

Maka parlemen kita kemudian diisi oleh politisi atau politikus instan yang kebingungan di ruang sidang, tidak memahami substansi dan membebek menyetujui kebijakan tanpa memahami mengapa harus disetujui. Parlemen di penuhi para petualang politik yang memilih kursi-kursi kekuasaan daripada kebutuhan rakyat banyak yang diwakilinya.

Dimana Ruang Gen-Z ?

Dalam politik zaman itulah kini kita tinggal. Melihat politik prosedural yang setia menjalankan mekanisme aturan, dilanggar. Potret yang paling layak dijadikan pembelajaran adalah situasi terkini menjelang Pilpres 2024 yang menunjukkan bagaimana para elit mendominasi seluruh ruang-ruang keterwakilan rakyat seolah menjadi milik mereka.

Politik riuh dengan parpol mana akan mendukung siapa, koalisi apa yang harus dibentuk agar kekuasaan menjadi lebih dekat dengan tujuan mereka.

Sejak awal kelahiran capres-capresnya melalui kelahiran Caesar—seperti halnya Anies Baswedan dari ibu Gerindra, Atau Ganjar Pranowo yang harus melalui polemik drama keluarga PDIP ketika petinggi dan keputusan partai dilangkahi oleh kader militannya, atau Prabowo Subianto yang belakangan muncul menjadi sentral pemberitaan setelah menggandeng putra sulung presiden yang sedang berkuasa melalui keputusan Makkamah Konstitusi yang penuh kontroversi.

Kendaraan koalisi yang terus berganti-ganti partai penumpangnya, tawar menawar kepentingan hingga mengerucut menjelang akhir penutupan pendaftaran ulang calon pengganti cawapres pada 8 November 2023 lalu, jika masih merasa belum sreg atau terganjal oleh aturan perundang-undangan yang dilanggarnya.

Generasi Z warisan era Baby Boomer kita semestinya bisa melebarkan sayap partisipasinya dalam ruang politik yang serba instant dan cuek bebek dengan rakyat itu. Anak-anak muda milenial itu menguasai media digital sebagai ruang baru untuk berekspresi dan menunjukkan jati diri dan menjadi alat agar bisa terlibat lebih jauh ke dalam ruang politik yang makin apatis dan tidak punya sopan santun.

Beruntung bahwa media internet, hasil revolusi teknologi digital bisa menyeruak masuk ke dalam ruang-ruang privasi politik yang awalnya tidak bisa tertembus. Kini bisa dipengaruhi, dikoreksi dan dipantau. Tanpa menyentuh, tanpa bertatap muka namun dapat mengirimkan pesan politis yang penting.

Tentu kita masih ingat dengan Arab Spring, ketika media sosial menggerakkan massa di benua itu untuk menyuarakan demokrasi. Bagaimana ruang-ruang digital yang begitu maya bisa menggerakkan realitas, orang-orang di dunia nyata?.

Media sosial adalah alat yang bisa digunakan oleh kita para anak muda—yang sebagian orang menyebutnya generasi rebahan—untuk bisa bersuara dan berkiprah. Dalam pergelutan dan pergulatan politik yang sudah bermetamorfosa layaknya perubahan produk agraris yang kaku, menjadi produk pertanian yang instan dan cepat. Sehingga, cara kita mempengaruhi perubahan itu juga beradaptasi menggunakan cara-cara yang lebih cerdas dan instans.

Dari ruang-ruang privasi di kamar-kamar, ruang kost, asrama, hingga ruang kuliah, generasi Z kini bisa memainkan peran politiknya. Mereka menyuarakan tentang aturan main demokrasi prosedural yang semestinya ditaati para politikus kita, mengoreksi langsung kesalahan dan kesilapan yang sengaja dilakukan para politikus kita untuk mencapai tujuan-tujuan, membongkar kebobrokan, mem-viralkan perilaku politik kotor, membuka kedok dan begitu banyak kejahatan politik yang berpuluh tahun sebelumnya bergerak dalam ruang gelap yang tidak pernah bisa disentuh oleh awam seperti kita.

Teknologi internet, seperti pernah dicemaskan oleh Nicholas A. Christakis dan James H. Flower, pengarang buku Dahsyatnya Kekuatan Jejaring Sosial Menggubah Hidup Kita, sebagai sebuah keajaiban teknologi yang memudahkan manusia, namun juga menjadi biang anarkis yang tidak tertahankan.

Eric Schmidt dan Jared Cohen bahkan berujar dalam bukunya The New Digital Age, “Internet merupakan satu dari segelintir hal yang dibangun manusia tapi tidak benar-benar kita pahami.Yang awalnya alat transmisi informasi elektronik—deretan computer seukuran ruangan-ruangan—menjelma jadi saluran energi dan ekspresi manusia tiada batas yang ada dimana-mana dan menyentuh banyak sisi. Inilah sumber kebaikan yang luar biasa sekaligus benih kejahatan mengerikan, dan kita baru menyaksikan dampak mula-mulanya di panggung dunia.”

Menganggap jejaring sosial menjadi semacam superorganisme manusia. Jejaring sosial tumbuh dan berevolusi, segala hal mengalir dan bergerak di dalam mereka. Superorganisme itu punya struktur dan fungsi sendiri. Dan semuanya memungkinkan kita memahami tindakan, pilihan, dan pengalaman kita atas sesuatu yang baru.

Dan politik beserta orang-orang didalamnya masuk ke dalam superorganisme itu sehingga tidak lagi bisa sembunyi—pergulatan mereka, perseteruan mereka bahkan pesan-pesan yang ter-enskripsi dalam biner-bibner algoritma diantara 1-0 yang tersembunyi, kini bisa diakali oleh kecanggilan digital forensik.

Kini dalam ruang dan waktu yang berbeda, cara kita berjuang mewarisi nilai-nilai kemerdekaan juga ber-evolusi. Semangat Sumpah Pemuda yang berbeda tapi satu, kini disatukan dalam ruang-ruang digital sebagai sebuah—superorganisme- ala Nicholas dan James. Jadi kita para generasi Z—bahkan dengan rebahan sekalipun masih dapat memantau perilaku para politikus kita, memantau Indonesia dengan beragam cara, jadi bergeraklah, berpartisipasilah sebagai mata rakyat memantau politik, meski dari ruang rebahan paling privasi sekalipun.

Referensi

  • https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5723216/arti-intensifikasi-dalam-dunia-pertanian-beserta-contohnya
  • Eric Schmidt dan Jared Cohen, The New Digital Age, Penerbit Kompas Gramedia, Jakarta 2014.
  • Nicholas A. Christakis dan James H. Flower, Dahsyatnya Kekuatan Jejaring Sosial Menggubah Hidup Kita, Penerbit Kompas Gramedia, Jakarta 2010.

Tinggalkan Komentar

Komentar Terbaru

  • Seoranko

    It appears that you know a lot about this topic. I expect…

  • Felix Meyer

    Truly appreciate your well-written posts. I have certainly picked up valuable insights…

  • VIEW NEWZ

    Very interesting news information that doesn't make you bored, especially the latest…

  • BERITA MANTUL

    One of the rare natural phenomena that will occur next month is…

  • 168NEWS

    Several central banks have begun considering raising interest rates to control rising…

Chat WhatsApp
Butuh Bantuan?
Selamat datang di Portal Berita Paradeshi. Untuk memudahkan pembaca dalam memahami beragam informasi yang kami sajikan, baik dalam bentuk berita ataupun artikel, seluruh konten yang dihadirkan kami kanalkan dalam beragam rubrik.

Silahkan menghubungi kami untuk mengetahui informasi lebih lanjut