Ada banyak ruang yang bisa diberikan oleh perpustakaan atau TBM selain sekadar memberikan pelayanan pinjam meminjam buku. Ruang-ruang itu bisa tergantung pada kondisi sekelilingnya. Dalam hal perpustakaan atau TBM, misalnya, banyak hal yang bisa disentuh, banyak hal bisa diberikan ruang, sesuai dengan konteks sosio-kultural masyarakat sekitar. Inilah pentingnya, sebelum membangun perpustakaan atau TBM di desa, kita perlu mengerti kondisi dan situasi masyarakat sekitar.
Untuk itulah perlu adanya inventarisasi kebutuhan masyarakat sebelum benar-benar membangun perpustakaan atau TBM. Sebab perpustakaan atau TBM semestinya bukan sekadar fisik melainkan juga menyentuh ke ranah psikis masyarakat. Hal in bisa dilakukan, misalnya, dengan riset kecil-kecilan. Hal-hal yang memang belum ada dan perlu ada yang mana merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat.
Langkah ini perlu jika ingin perpustakaan atau TBM tidak sekadar menjadi ruang baca semata. Prinsip kebermanfaatan di sini sangat diperlukan. Jika perpustakaan atau TBM sudah mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat, maka secara otomatis masyarakat akan merasa diperhatikan dan difasilitasi. Dengan begitu akan muncul sense of belongin di hati masyarakat.
Kepekaan Sosial
Dalam hal ini, kepekaan sosial dari perpustakaan atau TBM dipertaruhkan. Apakah keberadaan perpustakaan atau TBM mampu menjawab kebutuhan masyarakat atau tidak? Lalu bagaimana cara kita menginventarisasi kebutuhan masyarakat? Pertama tentu melalui komunikasi, baik melalui diskusi ringan dengan masyarakat maupun melalui kegiatan anjangsana untuk sekadar mendengarkan keinginan masyarakat.
Kedua, mengamati dengan teliti hal-hal yang sekiranya pantas dilakukan. Maka ketika kita akan membuat sebuah ruang apapun bentuknya, ruang kreativitas, ruang apresiasi, atau bahkan ruang untuk kegiatan kemasyarakatan dengan memberikan fasilitas perpustakaan atau TBM kita.
Kita bisa merujuk pada kesuksesan dan kehebatan perpustakaan The Royal Alexandira (Abad 3 SM), yang mana perpustakaan ini selain menghimpun banyaknya buku dan informasi, juga menyediakan tempat-tempat untuk orang-orang dari belahan dunia untuk berdiskusi, menulis, bereskpresi. Hal yang sama dengan perpustakaan di Irlandia bernama Trinity College Library, perpustakaan yang bukan sekadar tempat membaca buku, melainkan juga tujuan wisata. Bahkan karena pesona dan keindahannya, menjadikan perpustakaan ini menerima paket tur lengkap dengan pemandu untuk mengelilingi perpustakaan dengan biaya masuk USD 12.
Sejauh ini, sebagaimana perpustakaan lainnya, perpustakaan Halaman Indonesia yang berada di Desa Paguyangan menyediakan bacaan-bacaan ringan untuk anak-anak hingga remaja. Bahkan Perpustakaan Halaman Indonesia dijadikan tempat diskusi untuk mahasiswa-mahasiswa yang ada di Brebes Selatan, juga komunitas-komunitas seperti Gusdurian Bumiayu, Lingkar Maiyah Bumiayu, dan Bumiayu Creative City Forum (BCCF).
Namun begitu, Perpustakaan Halaman Indonesia mencoba menghadirkan ruang yang lain, yaitu tempat untuk ngaji anak-anak desa sekaligus orang-orang tua. Pilihan ini lantaran pada saat Perpustakaan Halaman Indonesia berdiri, belum ada TPQ yang menampung anak-anak untuk mengaji. Sehingga, saat itu, selepas maghrib anak-anak cenderung menghabiskan waktu untuk nonton TV.
Akhirnya, perlahan anak-anak desa mau mengaji di Perpustakaan Halaman Indonesia, setelah sholat berjamaah. Untuk itulah perpustakaan Halaman Indonesia di malam hari lebih mirip dengan TPQ. Namun itu justru nilai lebih, sebab memang masyarakat membutuhkan ruang itu. Bahkan, dengan Perpustakaan Halaman Indonesia membuka ruang semacam ini, kegiatan perpustakaan menjadi aktif sampai malam. Di sela-sela menunggu giliran, anak-anak bisa sambil membaca buku-buku yang ada.
Selain untuk anak-anak, Perpustakaan Halaman Indonesia memberikan ruang ngaji untuk orangtua, yakni setelah isya. Kegiatannya antara lain pembacaan maulid barzanji dan maulid diba’. Dengan begitu, keberadaan Perpustakaan Halaman Indonesia mampu merangkul semua kalangan, dari anak-anak, remaja, hingga orangtua.
/2/
Angka literasi di Indonesia memang cukup memprihatinkan dibanding dengan negara lain. Kenyataan ini, meski pahit, mau tidak mau harus kita akui. Reading habbit di masyarakat Indonesia masih relatif rendah. Hal ini dibuktikan dengan, salah satunya, angka kunjungan masyarakat ke perpustakaan atau TBM (Taman Baca Masyarakat), baik yang milik pemeritah maupun milik swasta, dari tingkat kabupaten hingga desa, bahkan ke institusi-institusi pendidikan.
Bahkan, di beberapa sekolah, perpustakaan hanya sebagai fasilitas pelengkap dalam rangka menuju akreditasi sekolah. Sebuah kenyataan yang sudah menjadi rahasia umum. Entah bagaimana pola pikir masyarakat kita yang masih berjarak dengan dunia literasi. Bahkan tidak kurang-kurang dana yang digelontorkan oleh pemerintah dalam rangka memajukan angka literat masyarakat.
Pun dengan keberadaan perpustakaan dan TBM yang tersebar di berbagai daerah. Mereka menemukan banyak kendala dalam mempertahankan napas literasi masyarakat. Beberapa di antaranya lantaran tidak mampu bertahan dengan tantangan modernitas. Padahal, meminjam istilah Anthony Gidden, konsekuensi-konsekuensi modernitas sudah nyata adanya di kehidupan sehari-hari. Dalam konteks keseharian, digitalisasi yang menjadi representasi kemajuan teknologi lebih dominan menyita perhatian dan waktu masyarakat. Untuk itulah, dalam konteks napas panjang literasi, perpustakaan atau TBM semestinya membuka diri terhadap hal-hal itu.
Literasi Baru
Era sekarang, literasi telah berpindah dari literasi lama ke literasi baru. Literasi lama yakni sekadar membaca, menulis, dan menghitung. Sedangkan literasi baru adalah literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia. Maka, kita sudah semestinya hijrah pada konsep literasi baru itu. Perpustakaan atau TBM yang ingin bertahan dalam arus globalisasi harus bisa menerapkan literasi data, yakni pola pencarian dan pengumpulan data melalui akses internet. Revolusi industri 4.0. menjadikan IoT (Internet of Things) sebagai kemudahan untuk menemukan data di internet. Maka sudah saatnya perpustakaan atau TBM menggunakannya dalam kebutuhan mencari bahan bacaan, seperti halnya ebook, e magazine, e journal, dan lain-lain.
Kemudian literasi teknologi, yang kian menjadi tuntuan bagi para penggerak literasi baik perpustakaan maupun TBM. Jika pegiat literasi tidak terbuka pada kecanggihan-kecanggihan teknologi, maka kehidupan literasi akan jalan di tempat. Terakhir, literasi manusia, yakni kemampuan perpustakaan atau TBM mampu membentuk mental manusia yang memiliki keterbukaan, sehingga bisa memanfaatkan literasi data dengan menggunakan literasi teknologi. Keseimbangan ketiganya menjadi sebuah keniscayaan.
Literasi Tapak Jalak
Salah satu konsep pengembangan literasi baru adalah kolaborasi. Dalam pada ini, perpustakaan atau TBM semestinya harus mampu menjalin kerjasama dengan lembaga atau komunitas lain. Sehingga dunia literasi tidak akan stagnan. Hal ini yang dimaksud oleh Oprah Winfrey, seorang selebritis dan pengusaha Amerika Serikat, bahwa berjejaring dan menjalin kerjasama dengan orang lain itu penting dan harus. Sebab melalui itu, perpustakaan atau TBM akan menemuan kebaruan-kebaruan.
Dalam pada ini, saya mengistilahkannya dengan tapak jalak, sebuah motif di cincin yang wujudnya seperti garis silang. Artinya, ada empat penjuru yang harus dihubungkan. Perpustakaan atau TBM harus mengidentifikasi segala sesuatu yang bisa diajak kerjasama dalam pengembangan literasi, baik SDM, maupun sumber daya yang lainnya. Jika hal ini sudah bisa diterapkan, saya yakin literasi kita akan semakin progresif.
/3/
Keberlangsungan sebuah organisasi, komunitas, lembaga, atau apapun tergantung pada pemimpin. Seorang pemimpin yang baik memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, yang diistilahkan dengan leadership. Begitu pula yang terjadi pada sebuah komunitas literasi baik berbentuk perpustakan maupun TBM, baik yang didirikan oleh lembaga pemerintahan, swasta, maupun institusi pendidikan.
Memang benar, untuk menilai sukses tidaknya kita perlu meninjau banyak hal yang melingkupinya. Namun, dapat dipastikan kepemimpinan memiliki posisi yang penting. Hal ini berpengaruh pada kebijakan dan pola manajemen yang akan dilakukan. Pemimpin yang baik akan memiliki cara pandang yang luas, dengan menanfaatkan segala kelebihan dan meminimalisasi segala kekurangan.
Dalam pada ini, tentu kita tahu konsep analisis SWOT, yakni strengths (kekuatan), weaknesses (kelemahan), opportunities (peluang), dan threats (ancaman). Pertama, seorang pemimpin yang baik, mampu menginventarisasi sumber daya yang ada di kelompoknya, dalam hal ini komunitas literasi. Baik sumber daya manusia yang berupa relawan atau pengurus, maupun sumber daya yang lain, yang bisa berguna bagi keberlangsungan perpustakaan atau TBM.
Kedua, selain menginventarisasi kekuatan, pemimpin juga perlu menginvertarisasi kelemahan. Hal ini dimaksudkan agar keberlangsungan perpustakaan atau TBM tidak menemukan kendala yang tidak diinginkan. Dengan mengetahui kelemahan, seorang pemimpin akan mencari cara untuk menutup kelemahan itu, atau paling tidak agar kelemahan itu tidak menjadi sesuatu yang merugikan.
Ketiga, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa menangkap peluang, baik yang muncul dari dalam maupun yang datang dari luar. Seorang bijak mengatakan bahwa kesempatan tidak datang dua kali. Untuk itu seorang pemimpin yang cerdas haruslah seseorang yang memiliki kepekaan yang tajam. Sehingga ia bisa menggunakannya dalam rangka mengembangkan perpustakaan atau TBM.
Keempat, setelah mengoptimalkan peluang yang ada, diharapkan pemimpin bisa meminimalisasi ancaman. Dengan begitu, perjalanan perpustakaan atau TBM tidak akan menemukan kendala yang berarti. Sebab, ancaman ini yang terkadang datang tiba-tiba tanpa disangka. Maka, seorang pemimpin sudah semestinya menyiapkan segala ikhwal untuk mencegah ancaman ini datang dalam berbagai bentuknya.
Kepemimpinan KPoP
Dalam menjalankan tugas kepemimpinannya, seorang pemimpin harus memiliki prinsip yang kuat. Meminjam istilah Ki Hajar Dewantara, seorang pemimpin itu harus menginternalisasikan spirit ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Artinya, pemimpin harus bisa memberikan contoh yang baik. Baik dalam sikap, pemikiran, maupun kedewasaan dalam menghadapi sesuatu. Karena seorang pemimpin akan menjadi figur yang pada akhirnya menjadi tolak ukur bagi anggotanya.
Pemimpin yang baik juga tidak selamanya di depan. Pemimpin harus bijak mengatur posisi. Dalam hal publikasi, misalnya, tidak selamanya pemimpin yang harus muncul ke hadapan. Sesekali, perlu memberikan kesempatan bagi anggota atau pengurus lain untuk maju dan tampil. Dengan begitu, akan ada regenerasi ke depannya. Sehingga keberlangsungan sebuah perpustakaanm atau TBM tidak sepenuhnya bergantung pada kehadiran pemimpin.
Sementara itu, pemimpin juga harus bisa mengambil hati anggota atau pengurus lainnya. Dengan cara memberikan support baik berupa semangat maupun yang lain. Hal ini akan berpengaruh pada hubungan psikologis-interpersonal anggota atau pengurus, yang pada gilirannya akan memunculkan sense of belonging. Rasa memiliki inilah yang akan melahirkan loyalitas anggota atau pengurus perpustakaan atau TBM.
Pemimpin perpustakaan atau TBM harus punya jiwa KPoP, yakni kreatif-produktif-progresif. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak pernah kehabisan ide untuk memberi warna, selalu memanfaatkan waktu untuk terus bergerak serta berkarya, dan punya misi ke depan yang revolusioner. Dengan modal itu semua, komunitas literasi apapun bentuknya akan memperoleh napas panjang.
/4/
Keberangsungan sebuah komunitas bergantung pada pola manajemen yang diterapkan di dalamnya. Jika manajemennya opend mind terhadap perubahan dan dinamika yang terjadi di luar tubuh komunitas, maka akan terjadi perkembangan yang signifikan. Begitu pula yang terjadi di dalam sebuah komunitas literasi. Napas panjang komunitas literasi ada di dalam kreativitas pengelolaan yang dijalankan.
Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan fundraising, atau kita mengenalnya dengan penggalangan dana. Langkah ini merupakan upaya dalam rangka menambah dukungan sumber daya bagi keberlangsungan sebuah komunitas. Dalam istilah jawa ada yang dikenal dengan jer basuki mawa bea, yang berarti segala sesuatu membutuhkan biaya, membutuhkan dana. Untuk itulah faundraising menjadi salah satu senjata paling ampuh yang kerap dilakukan oleh komunitas.
Bentuk fundraising pun macam-macam, ada yang secara konvensional dengan meminta langsung melalui proposal pengajuan bantuan, atau juga bisa menggunakan konsep ekonomi kratif. Misalnya dengan membuat sebuah produk yang kemudian dipasarkan kepada khalayak. Keuntungan dari penjualan itu kemudian untuk menjalankan roda komunitas. Pemandangan ini sudah sangat sering kita saksikan di banyak komunitas.
Namun, sebenarnya, sejauh ini, fundraising masih disempitkan maknanya hanya sekadar mencari bantuan dana. Padahal, jika diresapi, fundraising tidak terbatas pada persoalan uang atau dana, melainkan juga suber daya lain, atau hal-hal yang bisa mendukung jalannya kegiatan komunitas. Seperti dukungan publikasi, bantuan sarana prasarana, dan juga hal-hal teknis lainnya.
Ruang ini yang masih belum banyak disentuh oleh komunitas, khususnya komunitas literasi. Maka perlu ada pemaknaan ulang mengenai konsep fundraising ini, agar nantinya tidak sekadar berkutat pada penggalian dana semata, tetapi juga sumber daya yang lain.
Literasi Kafe
Salah satu bentuk fundraising yang dilakukan oleh Perpustakaan Halaman Indonesia dan BCCF (Bumiayu Creative City Forum) adalah dengan mengajak kerjasama dengan beberapa kafe di Bumiayu. Kerjasama itu dengan pengadaan bahan bacaan untuk pengunjung kafe, yang kemudian dinamakan literasi kafe. Melalui kegiatan ini, kafe hanya menyediakan rak buku, lalu Perpustakaan Halaman Indonesia dan BCCF menyediakan bahan bacaan.
Buku-buku bacaan ini pun bervariasi, dari novel ringan, buku-buku how to hingga buku-buku pemikiran. Semua disajikan secara gratis kepada pengunjung, sehingga mereka bisa membaca buku sembari menunggu pesanan datang atau juga sembari menghabiskan makanan.
Selain sekadar menyediakan buku, literasi kafe juga menjadi ruang bagi kegiatan literasi di kafe yang meliputi pembacaan dan atau pementasan karya, bedah buku, workshop pengkaryaan. Hal menjadikan kafe lebih berwarna dan progresif. Sebab tidak sekadar menyajikan makanan dan minuman, tetapi juga wacana sekaligus wawasan literasi.
Melalui literasi kafe ini, Perpustakaan Halaman Indonesia dan BCCF secara tidak langsung menjalin simbiosis mutualisme dengan kafe-kafe. Perpustakaan Halaman Indonesia dan BCCF bisa menyelenggarakan acara secara gratis di kafe, sementara kafe akan mendapatkan kebaruan konsep yang lebih literat yang dapat mengundang pengunjung untuk datang.
Literasi kafe ini pada akhirnya menjadi semacam jembatan yang menghubungkan antara generasi milenial dengan literasi. Sebab jika menunggu mereka untuk datang ke perpustakaan sekadar membaca buku, membutuhkan waktu yang lama karena kesadaran literat yang cenderung rendah. Pola-pola kreatif seperti ini yang semestinya diterapkan komunitas literasi di manapun. Yakni meredefinisi makna fundraising, sehingga tidak semata orientasi finansial melainkan juga dukungan lainnya.
Referensi:
Munawir, Said, dkk. 2020. Dari Desa Membangun Bangsa. Yogyakarta: Lokajaya Media.
Suwarno, Wiji. 2009. Psikologi Perpustakaan. Jakarta: Sagung Seto.
Aisa, Aufia dan Machnunah Ani Zulfah. 2018. Revitalisasi Perpustakaan Desa, Jurnal Dinamika Vol 3 No 2.
Rahmah, Elva, dkk. 2019. Manajemen Perpustakaan. Depok: Rajawali Press.
Impressive posts! My blog Article Home about SEO also has a lot…