Kepekaan Gen Z terhadap Perpolitikan di Indonesia

Gen Z adalah sebuah teori yang dikemukakan oleh Greme Codrington dan Sue Grant Marshall, bahwa generasi yang lahir pada tahun 1997-2012, dimana identitas generasi ini dibentuk oleh era digital karena mereka lahir dengan berbagai teknologi dan informasi yang sudah canggih. Gen Z disebut sebagai pilar dari generasi emas 2045, karena sensus penduduk tahun 2020 mencatat dominasi mereka dalam populasi Indonesia.

Itu artinya, Gen Z memiliki peran yang sangat signifikan dalam kontribusinya sebagai pembawa perubahan bagi Indonesia beberapa tahun mendatang. Terkhusus saat ini, generasi muda akan menjadi pemilih yang akan menentukan nasib masa depan bangsa lima tahun ke depan. Pada pemilu 2024 untuk kali pertama di Indonesia, para pemilih akan didominasi kelompok milenial dan Gen Z. Berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), setidaknya 33,60 persen pemilih masuk kategori milenial, sedangkan generasi Z ada sekitar 22,85 persen dari total DPT.

Pada kesempatan ini, tentunya Gen Z tidak hanya sekedar memilih atau menggunakan hak pilihnya dengan sembarang, atau bahkan tidak memilih sama sekali. Dengan era digital yang sudah sangat canggih pada saat ini, banyak dari mereka yang memiliki pandangan berbeda dan inovatif terkait dengan isu-isu sosial dan politik. Oleh karena itu, keterlibatan Gen Z dalam Pemilu 2024 mendatang sangat penting untuk menentukan Pemimpin Negara ini yang akan melanjutkan nasib bangsa Indonesia.

Berbicara soal pemilu, tidak semua anak muda peka dan antusias terhadap hal tersebut. Pemilu erat kaitannya dengan politik, dan sampai saat ini masih dapat dijumpai anak muda yang apatis terhadap politik. Sikap apatis ini justru malah membawa kita tidak dewasa dalam berpolitik. Banyak dari mereka yang merasa tidak tertarik atau tidak yakin dengan proses politik dan pemilu, akibatnya mereka cenderung tidak memberikan suara pada pemilihan.
Kurangnya kepercayaan pada politik dan pemerintah, banyak anak muda merasa bahwa politik dan pemerintah tidak transparan dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil. Sehingga pemerintah perlu memperhatikan dan merangkul anak muda agar tidak apatis terhadap politik melalui upaya-upaya pendidikan politik ataupun media sosial.

Meskipun beberapa anak muda bersikap apolitis, tidak semua gen Z apatis terhadap politik. Pengaruh digitalisasi menyebabkan mereka dibanjiri berbagai macam informasi sehingga membuat mereka mengetahui tren-tren saat ini, apalagi isu-isu politik yang sedang hangat diperbincangkan saat ini. Di deklrasikannya Gibran sebagai cawapres pendamping Prabowo menuai beberapa kontroversi, dimana anak muda pun ikut bersuara terkait hal tersebut. Ini menandakan bahwa anak muda pun melek kahanan. Mereka tahu apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kecenderungan mereka untuk mempengaruhi opini publik melalui media sosial maupun partisipasi dalam gerakan sosial.

Mereka kini lebih sering menggunakan jejaring sosial dan komunitas hobi untuk terhubung, memberikan kritik, dan mengkampanyekan perubahan dengan beragam konten satir. Generasi muda Indonesia mengkritik korupsi, kemiskinan, dan ketidaksetaraan. Mereka berjuang untuk pembangunan berkelanjutan dan masa depan yang lebih baik untuk semua generasi. Pemuda menuntut representasi politik dan suara dalam kebijakan pemerintah.

Keterlibatan anak muda di mata dunia terutama dalam dunia politik dipandang sebagai ukuran umum kesehatan demokrasi sebuah negara. Didukung dengan kemajuan teknologi saat ini, barang tentu menjadikan anak muda kritis terhadap isu politik dan kebijakan publik yang terjadi saat ini. Adanya sebutan politik dinsati, politik uang, politik kepentingan, politik identitas, dan apapun yang berhubungan dengan politik, akan mewarnai pandangan generasi muda terhadap sistem politik di masa depan. Dimana bersamaan dengan bonus demografi, anak muda sebagai Agen of Change mampu menyiapkan diri guna membawa perubahan dan mewujudkan kepentingan bersama menuju wajah Indonesia yang lebih baik.