Lahir sebagai Anak Pemberani
Di tahun 1907-an, hiduplah keluarga Sayid Yudoyuwono bersama sang istri. Mereka berdua tinggal di daerah Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Hari itu, pada tanggal 10 Oktober 1907, lahirlah anak pertama mereka yang sudah sejak lama mereka nanti-nantikan. Tentu saja wajah mereka menjadi girang, seakan alam bernyanyi merdu untuk kebahagian mereka. Anak itu diberi nama “Gatot Subroto”.
Gatot kecil tampak sebagai anak yang tegas, berani dan keras kepala. Ia selalu ingin tampil di depan sebagai pemimpin di antara teman-temannya yang lain. Hal itu membawa harapan demi harapan bagi kedua orangtuanya, agar kelak ia menjadi orang sukses dan menjadi orang besar.
Untuk mewujudkan cita-cita yang besar itu, orangtua Gatot menyekolahkannya ke Europese Lagere School (ELS), sekolah untuk anak-anak Belanda dan anak bangsawan pribumi (Indonesia). Walaupun ayah Gatot bukan seorang bangsawan, namun Gatot dibantu oleh Bupati Banyumas waktu itu sehingga Gatot bisa diterima sebagai siswa Europese Lagere School (ELS).
Sifat Gatot yang berani dan keras kepala ia tunjukkan juga di sekolah. Bahkan suatu hari ia bertengkar dengan anak residen Belanda. Karena perkelahian itu, Gatot dimarahi oleh gurunya dan dikeluarkan dari sekolah. Karena bagi orang Belanda, sangat tidak sopan apabila orang pribumi berani melawan orang Belanda. Walaupun dalam keadaan benar, orang pribumi tak boleh membantah dan melawan orang Belanda.
Setelah keluar dari ELS, Gatot dibantu oleh salah satu kerabat keluarganya yang kebetulan sedang menjadi guru di sekolah Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Cilacap. Kemudian Gatot pindah ke sekolah itu dan belajar di sana. Kesempatan itupun ia manfaatkan dengan belajar serajin mungkin sehingga semua mata pelajaran dilahapnya dengan baik. Sampai akhirnya ia lulus dari HIS.
Selesai dari sekolah HIS, Gatot tidak melanjutkan pendidikannya ke sekolah yang lebih tinggi. Karena orangtuanya tak lagi memiliki biaya untuk menyekolahkannya. Kemudian Gatot memutuskan untuk bekerja sebagai pegawai kantor. Namun kerja rutin di kantor membuatnya bosan. Ia merasa kerja di kantor tidak sesuai dengan karakternya yang suka tantangan dan tegas. Tak lama kemudian, Gatot memilih berhenti bekerja dan keluar dari kantornya.
Mengikuti Pendidikan Militer
Sejak keluar dari kantor, Gatot tak punya kegiatan apa-apa lagi. Kemudian ia memanfaatkan kesempatan adanya pendidikan militer bagi anak-anak pribumi yang lulus sekolah dasar, yang pada tahun 1928 pemerintah Hindia Belanda membuka pendaftaran. Akhirnya di usianya yang ke 21 tahun itu, Gatot diterima sebagai siswa sekolah Cader School di Magelang. Sekolah itu memang khusus untuk pendidikan militer.
Setelah tiga tahun di Cader School, Gatot lulus dengan pangkat Sersan Kelas II KNJL (Koninklijk Nederlands lndische Leger). Kemudian ia ditugaskan di Padang Panjang, Sumatera Barat, oleh pemerintah Hindia Belanda. Selama 5 tahun di “kota dingin” itu, Gatot diberi pendidikan marsose. Atasannya melihat Gatot yang bertubuh kekar itu cocok ditugaskan di lapangan yang bersifat operasi militer khusus.
Selesai di Padang Panjang, Gatot dikirim ke Sukabumi untuk mengikuti pendidikan militer lanjutan. Pendidikan di sana dapat Gatot selesaikan dengan mudah. Kemudian Gatot diberi tugas dan ditempatkan di daerah Bekasi dan Cikarang yang waktu itu dianggap rawan terjadi konflik dan pemberontakan. Selama ia bertugas di daerah ini, wataknya semakin tampak jelas sebagai orang yang keras, tegas, berwibawa, bijaksana, terus terang dan terbuka. Ia tak pernah pandang bulu dalam menunaikan tugasnya, namun tetap menyukai humor. Dalam keadaan yang mendesak, Gatot dengan sangat cepat menyelesaikan masalah, seolah-olah keputusan itu tak pernah ia pikirkan, namun selalu saja keputusannya benar.
Saat itu, rakyat Bekasi dan Cikarang sangat penderita karena kejahatan yang dilakukan oleh preman secara bertubi-tubi. Mereka merampok dan merampas harta milik rakyat, sehingga rakyat banyak yang kelaparan. Maka dari itu, Gatot harus bertanggung jawab menjaga rakyat agar terhindar dari perampokan.
Beberapa kali Gatot berhasil menangkap para preman dan perampok di sana, dan langsung ia serahkan ke pengadilan untuk diberi hukuman. Ia menangkap para perampok itu tanpa pandang bulu, termasuk mereka yang merampok karena terpaksa; karena hidup mereka yang terlalu miskin. Bagaimanapun juga hukum harus ditegakkan.
Selalu ada rasa kasihan dalam hati Gatot ketika menangkap preman miskin itu, walaupun itu tak dapat mengurungkan tugasnya untuk menghukum yang salah. Karenanya, seringkali Gatot memberikan bantuan kepada keluarga si perampok yang sedang menjalani hukuman di penjara. Padahal dalam aturannya, anggota KNIL (tentara) tidak boleh bergaul dengan rakyat biasa. Tapi aturan itu ia langgar, karena baginya tidak ada salahnya berhubungan dengan rakyat kecil dalam rangka membantu kehidupan mereka.
Uang sumbangan Gatot biasanya digunakan oleh keluarga si preman untuk membuka usaha kecil-kecilan. Hal itu sudah cukup membuat mereka bahagia dan mampu mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Melihat itu, atasan Gatot merasa geram karena tak seharusnya Gatot terlalu memberikan perhatiannya kepada rakyat kecil. Sehingga seringkali Gatot mendapat teguran.
Menjadi Tentara Pembela Tanah Air
Seiring waktu, Gatot ditugaskan dan ditempatkan di Ambon saat terjadi Perang Dunia II. Di sana, untuk pertama kalinya Gatot menghadapi peperangan secara langsung melawan tentara Jepang. Namun tentara Gatot kalah, karena tentara Jepang lebih kuat dan peralatannya lebih lengkap. Ambon pun jatuh ke tangan Jepang. Akhirnya Gatot menyingkir ke Kota Makassar, dan menyempatkan diri berziarah ke makam Pangeran Diponegoro yang ada di sana.
Dari Kota Makassar, kemudian Gatot kembali ke Banyumas. Di tempat kelahirannya itu ia menjadi rakyat biasa tanpa tugas apapun. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena Jepang mengetahui kemampuan Gatot dalam dunia militer. Sehingga Jepang memintanya untuk menjadi Kepala Datasemen Polisi. Tawaran itu diterima oleh Gatot. Kemudian ia diperintah untuk menempuh pendidikan untuk Komandan Kompi Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Setelah selesai menempuh pendidikan di sana, Gatot diangkat menjadi Cudanco (Komandan Kompi) yang bertugas di daerah Banyumas.
Suatu ketika di tahun 1944, Kompi Gatot melakukan latihan penjagaan pantai di Pantai Selatan, Sumpyuh. Saat melihat anak buahnya sudah kelelahan, kemudian Gatot sebagai komandan memerintahkan agar latihan dihentikan. Namun perintah itu tidak didengarkan oleh para pelatih dan anak buahnya. Hal itu membuat Gatot marah dan berkata “Untuk apa aku menjadi Cudanco (Komandan)”. Kemudian Gatot melepas pedang dan pakaian tentaranya, lalu pergi meninggalkan lapangan latihan.
Suasana lapangan pun menjadi tegang dan rasa cemas meliputi para pelatih dan anak buahnya. Mereka takut bila Gatot melapor kepada atasannya. Latihan pun dihentikan dan para pelatih mengambil pedang dan pakaian tentara milik Gatot, kemudian diserahkan kepada Gatot. Para pelatih meminta maaf kepada Gatot atas kelancangan mereka dan meminta agar masalah ini tidak dilaporkan ke atasan mereka, cukup selesai saat itu juga. Gatot memaklumi kejadian itu. Sebagai tentara profesional yang sudah menempuh berbagai pendidikan militer dan pernah turun langsung dalam perang, Gatot memahami betul seluk beluk militer Jepang. Mungkin tidak semua ilmu militer ia kuasai, namun ia paham perihal tugas dan mental prajurit ketika sedang berada di lapangan. Pengalaman itu sangat mempengaruhi hubungan baik antara Gatot dengan para pelatih tentara Jepang di kesatuannya. Karena kemampuannya itu, ia naik pangkat menjadi Komandan Batalyon (Daidanco). Sehingga tugasnya pun semakin besar, dan semua tanggung jawab itu pun berhasil dilaluinya dengan baik.
Perjuangan Jenderal Gatot Subroto Melawan Penjajah
Pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Saat itu, Gatot masih bertugas di Banyumas. Kemudian ia mengambil alih seluruh kekuasaan kepolisian daerah Banyumas. Gatot bersama-sama dengan Badan keamanan Rakyat (BKR) Banyumas melakukan perundingan damai dengan pihak Jepang, agar Jepang menyerah. Usahanya itu membuahkan hasil dan Jepang pun menyerahkan semua senjatanya kepada BKR Banyumas.
Tak lama setelah itu, Divisi V Purwokerto dibentuk dan dipimpin oleh Jenderal Soedirman. Lalu, Gatot diangkat menjadi Kepada Siasat di dalamnya. Ia pun terlibat dalam pertempuran melawan Inggris di Ambarawa. Hal itu menjadi ujian pertamanya sejak Indonesia merdeka sebagai seorang tentara nasional.
Dalam pertempuran di Ambarawa itu, Gatot beserta pasukannya menghadapi para tentara Inggris yang lebih kuat dan memiliki pengalaman dalam Perang Dunia II. Namun pasukan Gatot tidak merasa gentar dan penuh semangat untuk membela tanah air yang baru saja merdeka. Untuk terus memacu semangat pasukanya itu, Gatot selalu berteriak “Jagalah namamu sampai disebut sebagai penghianat bangsa!”.
Gatot ditunjuk sebagai komandan sektor front Ambarawa. Pertempuran itu terjadi untuk beberapa hari dan berakhir pada tanggal 15 Desember 1945. Pertempuran Ambarawa pun dimenangkan oleh pasukan Jenderal Sudirman dan Gatot. Kemudian ia diangkat sebagai Kolonel pada Divisi V Purwokerto.
Sebagai seorang pimpinan, Gatot sangat akrab dengan bawahannya. Hal itu tampak ketika ia memimpin tentara pelajar. Ia menyediakan kompi depot tempat latihan untuk mereka, dan diberi instruktur prajurit KNIL yang sudah berpengalaman. Sifat pemimpin seperti seorang ayah bagi anak-anaknya itulah yang membuatnya berwibawa dan dihargai oleh para bawahannya.
Sebelum serangan Agresi Militer Belanda I terjadi, pesawat pengintai milik Belanda sering terbang di atas Kota Purwokerto. Sehingga Markas Divisi tentara Banyumas dijaga ketat, salah satunya oleh para tentara pelajar yang masih muda. Suatu malam, Gatot dengan menunggang kuda dan tanpa memakai baju tentara menghampiri pos penjagaan. Di depan pos yang dijaga oleh para tentara pelajar itu, ia berkata kepada mereka “Apakah kalian takut?”. Tentara pelajar itupun menjawab “Takut, Pak!”. Gatot kemudian manggut-manggut dan menjawab “Baiklah. Orang yang berkata ‘tidak takut’ itu berarti ia berbohong. Saya juga takut, kok.”
Pada tahun 1948, akhirnya Gatot menikah dengan seorang dokter yang bernama Soepiah. Kemudian, menjelang terjadinya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, Gatot diangkat menjadi Panglima Korps Polisi Militer.
Beberapa bulan setelahnya, situasi dalam negeri sedang genting di mana Partai Komunis Indonesia (PKI) sedangkan mematangkan rencana dan pasukan untuk melakukan pemberontakan. PKI menggunakan Kota Solo sebagai daerah wild west (daerah tak bertuan) dan pusat gerakan. Bentrokan pun terjadi antara pasukan militer Siliwangi dengan pasukan Panembahan Senopati yang sudah dipengaruhi oleh PKI.
Melihat itu, Panglima Besar beserta Kepala Staf Markas Besar Angkatan Perang dan Panglima Corps Polisi mengadakan rapat di MBAP (Markas Besar Angkatan Perang). Hasil rapat itu mengusulkan pemerintah mengangkat Kolonel Gatot Subroto menjadi Gubernur Militer daerah Surakarta, Madiun dan Pati. Permintaan mereka pun diterima dan Gatot menjadi Gubernur Militer.
Sebagai Gubernur Militer, Gatot bertugas mengembalikan keamanan daerah dan menertibkan pasukan yang terpengaruh oleh PKI. Ia harus memberantas para pemberontak yang melawan pemerintah. Tugas itupun dilaksanakan oleh Gatot dengan sangat baik, dan Surakarta kembali aman dari pemberontakan.
PKI tak jua menyerah. Setelah gerakannya ditumpas di Surakarta, kemudian mereka melakukan pemberontakan di Madiun pada tanggal 18 September 1948. Segera saja Gatot melancarkan penumpasan dari arah barat dan mengerahkan semua pasukannya. Akhirnya dalam waktu yang tidak lama, Gatot berhasil menumpas para pemberontak di Madiun.
Pada tanggal 19 Desember 1948, tiga bulan setelah terjadi pemberontakan PKI di Madiun, Belanda mulai melancarkan serangan Agresi Militer Belanda II-nya yang berpusat di Yogyakarta. Kemudian Gatot memerintah kepada para pasukannya untuk ikut serta melawan serangan Belanda itu dan bekerjasama dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Gatot dan Jenderal Soedirman bekerjasama dengan baik, bahkan Jenderal Soedirman menganggap Gatot sebagai kakaknya sendiri. Walaupun pangkat Gatot lebih rendah daripada Jenderal Soedirman. Mereka berdua bersama-sama menjalankan perang gerilya untuk menghalau serangan Belanda.
Perang Gerilya selesai, Belanda akhirnya menyerah melalui perundingan Roem Royen di mana Belanda bersedia membebaskan ibukota Yogyakarta dan memulangkan para pimpinan negara yang sempat diasingkan ke daerah lain. Kemudian presiden meminta Jenderal Soedirman yang saat itu berada di luar Jogja agar kembali pulang ke Yogyakarta. Namun Soedirman tak menerima permintaan itu dikarenakan sakitnya yang semakin parah, dan merasa kecewa kepada presiden yang mau mengikuti perundingan Belanda yang dia anggap menguntungkan pihak penjajah.
Melihat sikap Soedirman yang keras itu, Gatot mengirimkan surat kepada Soedirman yang berisi permintaan agar Soedirman segera kembali ke Yogyakarta karena rakyat sudah merindukan kedatangannya. Berkat surat dari Gatot itu, akhirnya Jenderal Soedirman bersedia kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949 walau sedang dalam keadaan sakit.
Setelah serangan Belanda itu, Indonesia pun diakui kedaulatannya sebagai sebuah negara yang merdeka. Kemudian Gatot diangkat menjadi Panglima Teritorium Jawa Tengah yang berpusat di Semarang. Selanjutnya Gatot harus kembali menjalankan tugas melakukan operasi militer guna menghalau pemberontakan DI/TII. Tugas itu dijalankannya dengan baik.
Kemudian pada tahun 1952, Gatot diangkat lagi menjadi Panglima Tentara Teritorium VII Wirabuana yang berpusat di Ujung Pandang. Di sana ia harus menumpas pemberontakan dari Kesatuan Girilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Anggota pemberontak itu sebenarnya adalah orang-orang bekas TNI yang dulunya adalah tentara nasional. Mereka menjadi pemberontak karena disesatkan oleh pimpinannya. Maka dari itu, Gatot merayu dan mengajak mereka agar kembali menjadi tentara nasional secara pelan-pelan.
Upaya Gatot pun membuahkan hasil. Berkat bimbingannya, banyak anggota pemberontak itu yang tersadarkan. Kemudian Gatot kembali melantik mereka menjadi tentara nasional di TNI. Usaha Gatot dianggap berbahaya oleh sebagian orang, terutama dua anggota DPR yaitu Bebasa Daeng Lalo dan Rondonuwu yang mengecam keras sikap Gatot. Kemudian dua anggota DPR itu mengirim laporan kepada pimpinan DPR yang menyatakan bahwa Gatot telah menyalahi perintah pemerintah pusat.
Pada tanggal 18 November 1952 di Jakarta, kekuasaan Gatot sebagai Panglima Teritorium VII diambil alih oleh Kepala Staf-nya yang bernama Letnan Kolonel Warrouw. Karena Gatot dianggap mendukung pernyataan pimpinan Angkatan Darat secara terang-terangan. Langkah itu oleh Gatot dianggap langkah politik dan karenanya ia memilih keluar dari TNI daripada persoalan semakin runyam. Setelah itu, Gatot pulang ke Semarang dan menjadi rakyat biasa serta membangun rumah di daerah Ungaran.
Setelah rumahnya selesai dibangun di tahun 1955, Gatot pindah ke rumah barunya itu. Di rumah itulah ia ingin menetap dan menghabiskan masa tuanya. Namun hanya berselang 1 tahun kemudian, ia kembali dipanggil pemerintah dan mengangkatnya menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang saat itu dipimpin oleh A.H. Nasution.
Di tempat kerjanya yang baru itu, Gatot memberikan pendidikan militer kepada para perwira muda, salah satunya adalah Ahmad Yani. Selain itu, Gatot juga mengunjungi beberapa negara seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Yugoslavia, Mesir, RRC dan beberapa negara di Asia. Kunjungan itu dilakukan untuk membandingkan antara pendidikan militer di negara itu dengan pendidikan militer di Indonesia. Sehingga ditemukan pelajaran-pelajaran baru yang bisa diterapkan dalam mendidik perwira militer di Indonesia.
Beberapa bulan sebelum jabatannya sebagai Wakil KSAD habis, pemerintah sempat merencanakan Gatot untuk diangkat sebagai Penasehat Militer Presiden. Namun sebelum ia habis masa jabatan, ia dipanggil oleh Tuhan dan meninggal dunia pada tanggal 11 Juni 1962 karena menderita serangan penyakit jantung. Sesuai permintaannya, Jenderal Gatot Subroto dimakamkan di daerah Ungaran, Semarang Jawa Tengah.
You've done an impressive work on your website in covering the topic.…