0 comment 135 views

Korelasi Antara Gen Z, Media Sosial dan Politik

A. Pendahuluan

Sudah menjadi hal yang biasa bagi anak Gen Z untuk selalu update tentang apa-apa saja yang terjadi di media sosial. Ibarat ‘Api dengan Asap’ media sosial dan Gen Z tidak bisa dipisahkan. Menurut survei dari McKinsey, ada 58% responden dari generasi Z yang menggunakan media sosial lebih dari satu jam perharinya.

Anak generasi Z, merupakan generasi yang lahir dalam rentang tahun 1997 sampai 2012. Di tahun 2023, usia Gen Z berada di rentang 11 sampai 26 tahun. Yang mana, mereka tak jauh adalah anak-anak remaja. Pada usia anak remaja, mereka cenderung sedang mencari jati diri. Termasuk dengan penggunaan sosial media.

Awalnya, para remaja mencari jati diri mereka dengan mencari pengalaman dari berbagai bidang dan sumber yang bermacam-macam. Entah dengan kenakalan remaja, mencoba hobi baru yang berbahaya, bergaya pakaian aneh dan ikut-ikutan trend. Salah satu alasan mereka berbuat seperti ini adalah untuk menarik perhatian orang, dibilang ‘keren’ dan lain sebagainya.

Sekarang, media sosial seolah-olah memberikan ‘panggung’ bagi para remaja untuk menunjukan eksistensi mereka. Satu kali foto yang di-upload di sosial media, bisa mendapatkan ratusan, ribuan respon. Bisa berupa like dan komentar. Media sosia juga tidak datang sendirian, media sosial ditemani dengan internet browser. Bayangkan saja, satu atau dua kata saja yang diketik dalam mesin pencarian internet, ratusan juta hasil bisa didapatkan dengan sekejap. Hal ini menjadikan internet sebagai ‘bensin’ untuk ‘api dan asap’ media sosial. Inilah awal mula media sosial menjadi teman baik Gen Z.

Seiring perkembangan zaman, media sosial dan dengan perubahan trend-trend yang terjadi di dalamnya, memaksa Gen Z untuk mengikut pula agar tidak ketinggalan update. Perubahan hal yang sedang viral dan happening sangat cepat dari waktu ke waktu. Kita bisa ambil contoh dari meme lokal yang berjudul ‘berchandya’, meme itu awalnya viral karena ada seorang mahasiswi yang sedang diwawancara melontarkan jawaban yang menarik dan dianggap lucu oleh netizen.

Sontak netizen secara tidak langsung mem-viralkan video tersebut dengan memberikan like, komentar dan membagikan video tersebut kepada netizen lainnya. Hal ini membuat algoritma video tersebut naik dan menjadi semakin viral dan tersebar keseluruh pengguna media sosial, khususnya Gen Z Indonesia. Mereka menjadikan kata ini sebagai catchphrase di media sosial. Biasanya digunakan ketika mengutarakan komentar-komentar satir dan lain sebagainya. Contoh kalimatnya antara lain “kayaknya dia belum mandi deh, berchandya, berchandya”.

Tak jarang netizen yang membuat sesuatu hal yang kreatif dari trend ini. Ada yang membuat video parodi sampai lagu dari hanya satu kata atau kalimat yang viral tersebut. Sungguh luar biasa Gen Z dalam menggunakan sosial media nya. Tetapi sekitar satu bulan berlalu setelah hal tersebut viral, netizen perlahan melupakan trend tersebut antara lain karena dua hal; yang pertama adalah karena netizen sudah merasa bosan akan hal tersebut, dan yang kedua adalah sesuatu yang viral tersebut sudah tertutup dengan sesuatu yang baru viral.

Siklus ini terus menerus terjadi. Kembali lagi, perubahan yang cepat ini memaksa netizen khususnya Gen Z untuk terus mengetahui trend yang lebih terbaru lagi agar tidak ketinggalan. Fenomena ini biasa disebut dengan FOMO (Fear of Missing Out). FOMO adalah istilah yang digunakan kepada orang yang takut akan ketinggalan akan sesuatu, dalam hal ini adalah trend sosial media. Karena, ketertinggalan update akan membuat pengguna sosial media tersebut malu ketika ditanya atau berbincang mengenai suatu hal yang viral, tetapi ia tidak tahu apa yang akan dibahas. Hal ini pula yang tertanam kuat di diri Gen Z, yaitu takut ketinggalan zaman, takut dikatai kuno, gaptek, dan lain sebagainya. Hal ini ternyata berdampak positif kepada skill Gen Z dalam mencari sesuatu, berinovasi agar tidak kalah saing, dan juga meningkatkan kreatifitas. Tak heran jika Gen Z dilirik oleh para pencari ladang di Gen Z dengan memerhatikan kebiasaan mereka.

Beberapa bulan yang lalu juga viral tentang cara suatu brand mempromosikan suatu barang. Yaitu dengan membuat kasus palsu atau bisa dibilang kasus rekayasa. Netizen Gen Z dikenal juga bisa memanfaatkan media sosial untuk menyebar berita, atau disebut ‘Citizen Journalism’. Ciri khas berita dari Citizen Journalism adalah penggunaan teks, foto atau video berita yang terlihat amatir. Anda pasti bisa membedakan mana berita hasil ketikan jurnalis berpendidikan dengan ketikan anak remaja dalam menyebarkan berita.

Biasanya berita hasil ketikan Citizen Journalism lebih to the point, tidak terlalu memengtingkan kaidah jurnalistik, dan blak-blakan dalam menyampaikan berita. Pada garis besar berita hasil Citizen Journalism lebih tidak terfilter dan mentah dibanding berita hasil terbitan media yang sudah terpercaya, karena agar berita bisa tayang pada media tersebut, harus melalui tahapan yang sangat rumit dan professional agar menghasilkan berita yang dapat dipertanggungjawabkan. Tapi nampaknya, Gen Z lebih memilih berita yang mentah, tidak terfilter dan to the point.

Para marketing pun memiliki ide untuk mempromosikan barang melalui Citizen Journalism.
Beberapa waktu yang lalu, ada satu video yang terlihat amatir, dalam narasi video tersebut, menunjukan seorang pemuda yang sedang diusir oleh ibu kost karena tidak membayar uang bulanan. Netizen terpancing untuk lagi-lagi secara tidak langsung memviralkan video tersebut. Berbagai respon diberikan, mayoritas netizen merespon dengan amarah, karena memang itulah kesukaan netizen Gen Z, yaitu ‘sensasi’.

Setelah video tersebut naik dan melambung tinggi hingga viral, barulah terkuak ternyata ada kelanjutan video yang memperlihatkan sang pemuda yang diusir dari kost dengan ibu kost bersalaman yang bertuliskan kalimat promosi suatu provider e-wallet yang telah menyelesaikan pembayaran uang kost dengan e-wallet tersebut. Pendapat jujur saya, ini merupakan salah satu teknik marketing tercerdas yang pernah ada. Dari sini bisa dilihat, Gen Z merupakan ‘alat’ ajaib yang bisa membuat suatu hal bisa viral dalam sekejap secara tidak langsung ataupun langsung, secara disengaja maupun tidak.

Politik merupakan hal yang sama dengan menjual barang, siapa yang paling bisa mempromosikan dengan benar barang tersebut, maka dialah yang akan paling laku. Pada bab berikutnya akan membahas mengenai korelasi antara Gen Z dengan politik, korelasi Gen Z dengan sosial media, dan kesimpulan yang bisa diambil dari ketiga unsur tersebut.

B. Politik di Kalangan Gen Z

Pada pendahuluan awal tadi, sudah dibahas mengenai rentang umur Gen Z. Disana bisa kita lihat sebagian besar Gen Z merupakan anak remaja. Sedangkan remaja belum mempunyai hak untuk memilih. Lalu untuk apa para politisi menjadikan Gen Z, dalam hal ini adalah anak-anak remaja sebagai target pasar mereka.

Dalam hal ini perlu diketahui dulu bahwa ada yang namanya branding dalam dunia politik.
Para remaja umumnya belum memiliki cara berfikir layaknya orang dewasa, para remaja berfikir dengan menggunakan emosi. Hal ini bisa kita lihat banyaknya supporter-supporter fanatik dalam hal sepele. Anda bisa melihat hal ini pada fans klub bola, series film mana yang lebih bagus, dan karakter anime mana yang lebih kuat. Sekumpulan fans ini disebut fanbase. Dalam memilih sisi mana yang harus dipilih, Gen Z tidak terlalu memikirkannya secara objektif, melainkan lebih kepada subjektif.

Cara berfikir tersebut disukai para politisi, disinilah ajang politisi bertarung ‘keren-kerenan’ dan branding politik digunakan. Pertama Gen Z yang masih remaja akan melihat politisi yang terlihat keren, entah itu dengan identitasnya, wibawanya, janji-janjinya dan lain-lain. Selanjutnya ia remaja ibarat kertas kosong, yang pertama ia lihat dan ia jadikan panutan, maka itulah yang akan berada dipikirannya terus. Ia akan melihat politisi lain tidak jauh lebih baik dari politisi yang ia pilih pertama kali. Ia akan menjadi fanatik dan menjadi pengikut.

Kalaupun para remaja ini beranjak dewasa dan mulai berfikir kritis, para politisi tinggal duduk manis karena di hati para pendukungnya sudah tertanam nama mereka sejak dini. Ibarat pendukung sepak bola yang fanatik, walau pernah kalah atau melakukan kesalahan dalam pertandingan, mereka akan tetap setia mendukung.

C. Gen Z dengan Sosial Media

Pada bagian pendahuluan, sudah dibahas bahwa Gen Z dan media sosial merupakan ‘Api dan Asap’. Tetapi hal ini ternyata tidak selamanya buruk, sebab ada beberapa sisi positif dibalik ini semua. Berdasarkan survey yang diambil dari Business Insider, 59% Gen Z mencari informasi dari Instagram.

Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi? Kita perlu memahami dulu apa isi berita dan informasi yang bertebaran di Instagram tersebut. Kembali lagi ke pendahuluan, Citizen Journalism merupakan suatu hal yang sangat disukai Gen Z. Terlebih lagi di Instagram, semua orang bisa membuat akun sendiri dan bebas memposting apapun, salah satunya adalah berita dari Citizen Journalism.

Berita Citizen Journalism dinilai lebih enak untuk dibaca karena tidak ada aturan tertentu yang membuat berita tersebut menjadi tidak kaku dan menyenangkan untuk dibaca. Tak jarang juga berita dan informasi ini berbentuk meme yang sedang viral dikalangan Gen Z. Jika meme ini diperpadukan dengan konteks yang tepat dan informasi yang relevan, Gen Z cenderung akan lebih suka membacanya.

Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa berita Gen Z yang dibaca adalah berita yang sepenuhnya benar. Semua informasi yang didapat di media sosial harus dipastikan kembali kebenarannya. Tak lupa juga bahwa media sosial merupakan alat penggiring opini paling kuat, karena menyediakan tempat untuk berbagi informasi dengan cepat dan luas.
Adanya Influencer juga menambah kekuatan ini karena pengikut Influencer tersebut sudah menganggap ia sebagai Role Model sehingga cenderung terpengaruh oleh pendapat dan pandangan yang disampaikannya.

Influencer ini menjadi pisau bermata dua, apabila yang disampaikannya benar, maka akan berakibat positif. Sebaliknya, jika yang disampaikannya salah, maka akan berdampak negatif pada penyebaran informasi. Informasi yang sudah tersebar di media sosial susah ditarik, karena telah menyebabkan jejak digital. Maka dari itu Gen Z dan pengguna media sosial lainnya harus memikirkan dengan baik apa yang dilihat dan orang lain lihat.

D. Korelasi Gen Z, Media Sosial, Politik dan Kesimpulan

Penggabungan korelasi antara Gen Z yang melekat dengan sosial media dan tidak bisa dipisahkan. Dengan korelasi antara sosial media dan politik. Maka Media Sosial disini merupakan panggung politik yang menyasar kepada Gen Z. Gen Z disini sebagai Target utama ekonomi politik. Karena, Gen Z berlaku sebagai konsumen, sekaligus distributor. Mengapa disebut Konsumen? Karena Gen Z lah yang akan memakan informasi tentang politik yang bertebaran di media sosial. Entah itu tentang kelebihan Capres A, keunggulan Politikus B, skandal Partai C dan lain sebagainya.

Disinilah terjun Sales politik atau yang biasa disebut sebagai Buzzer untuk menyebarkan produk Produsen mereka. Entah itu ‘produk bagus’ atau ‘produk jelek’ tugas mereka adalah untuk menjual sebanyak-banyaknya. Buzzer-buzzer ini berkeliling, mencari siapa yang ingin membeli produknya, terutama di kalangan Gen Z.

Tugasnya para Buzzer ini adalah untuk membalut produk politik tersebut dengan semenarik mungkin, sekreatif mungkin agar bisa mendapat perhatian dari Gen Z dan dipromosikan oleh Gen Z. Ingat, Gen Z suka dengan hal-hal yang bersifat kontroversial dan juga menyukai sensasi. Apabila produk sudah dibalut dengan sempurna dan Gen Z tertarik dengan produk tersebut, maka produk tersebut dengan sendirinya akan naik dikalangan Gen Z karena Gen Z itu sendiri.

Jika Gen Z memutuskan untuk membeli dan menyebarkan kembali produk tersebut, disinilah peran Gen Z menjadi distributor dimulai. Gen Z satu akan menyebar ke Gen Z lainnya dan seterusnya. Tinggal Gen Z yang berfikir kritis untuk mencari tahu kebenaran produk tersebut. Penting bagi Gen Z untuk mengembangkan kemampuan berfikir kritis dalam menilai informasi, mengidentifikasi sumber yang dapat dipercaya, dan menarik kesimpulan berdasarkan data dan logika.

Dengan demikian, Gen Z apa memanfaatkan potensi sosial media sebagai sarana untuk mengutarakan aspirasi, terutama di bidang politik dengan baik dan benar sambal tetap menjaga pemikiran dan integritas informasi.

Referensi

  • https:/dataindonesia.id: Survei Gen Z Lebih Lama Main Medsos dari Generasi Lain.
  • https:/businessinsider.com/: Gen Z Changes Political Divides.
  • Hampir semua dari isi tulisan esai ini adalah ide atau penndapat pribadi penulis.

Tinggalkan Komentar

Komentar Terbaru

  • Seoranko

    It appears that you know a lot about this topic. I expect…

  • Felix Meyer

    Truly appreciate your well-written posts. I have certainly picked up valuable insights…

  • VIEW NEWZ

    Very interesting news information that doesn't make you bored, especially the latest…

  • BERITA MANTUL

    One of the rare natural phenomena that will occur next month is…

  • 168NEWS

    Several central banks have begun considering raising interest rates to control rising…

Chat WhatsApp
Butuh Bantuan?
Selamat datang di Portal Berita Paradeshi. Untuk memudahkan pembaca dalam memahami beragam informasi yang kami sajikan, baik dalam bentuk berita ataupun artikel, seluruh konten yang dihadirkan kami kanalkan dalam beragam rubrik.

Silahkan menghubungi kami untuk mengetahui informasi lebih lanjut