Komunikasi merupakan salah satu hal esensial yang tidak lepas dari kehidupan sehari-hari seorang manusia. Komunikasi turut mengalami perubahan seiring dengan perkembangan manusia, diantaranya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan IPTEK mendorong perubahan dalam berbagai sektor termasuk perubahan pola komunikasi masyarakat. Media sosial sebagai pilihan masyarakat saat ini dalam berkomunikasi termasuk dalam penggunaan komunikasi politik. Komunikasi politik melalui media sosial sebagai contoh yang dipergunakan oleh mantan Presiden Amerika Serikat yaitu Barack Obama mengintegrasikan media sosial dalam strategi kampanye politiknya dan dilakukan secara efektif, dengan maksud untuk mendukung kampanye pemilu offline-nya. Media sosial memainkan peran pendukung dalam komunikasi politik antara warga negara, politisi, dan partai politik. Selain media tradisional, media sosial menawarkan sarana komunikasi politik alternatif yang lebih langsung dan interaktif. Sehingga, politisi juga turut merangkul komunikasi media sosial sebagai strategi untuk berkomunikasi dan menemukan audiens potensial. Hal ini terwujud dengan masifnya penggunaan media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, YouTube, dll disamping website resmi yang telah dimiliki oleh partai politik tersebut. Selain itu, para politisi juga banyak memiliki akun media sosial yang berstatus verified yang digunakan untuk merespon masyarakat mengenai isu terkini atau pembicaraan ringan seperti menanggapi mention masyarakat.
Hillary Brigitta Lasut sebagai anggota DPR RI termuda sudah merasakan manfaat penggunaan platform media sosial untuk tujuan politik sebagai wadah kampanye dalam Pilpres 2019 lalu. Menurut salah satu anggota DPRD Sulawesi Utara, pemanfaatan media sosial sebagai media politik merupakan opsi yang baik, selain mura kehadiran media sosial ini bisa menjangkau lebih banyak suara dari kalangan pemilih muda. Komisioner Pusat KPI, Yuliandre Darwis, juga turut berpendapat dengan menyatakan bahwa jejaring media sosial yang digunakan untuk menggaet suara pemilih muda dan menarik partisipasi pemilih muda dalam dunia politik merupakan suatu hal yang wajar dan lumrah di era digital saat ini. Politisasi media telah mengubah paradigma penggunaan media, di mana media tidak hanya menjadi alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga menjadi alat kekuasaan politik dan ekonomi. Hal ini menunjukkan kompleksitas hubungan antara media dan politik, serta dampaknya terhadap dinamika kekuasaan dan opini publik.
Media sosial memiliki potensi untuk mempengaruhi proses politik dengan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik. Selain itu, media sosial dapat membantu masyarakat sipil menyebarkan isu dan informasi untuk mendapatkan perhatian publik yang lebih luas dan juga mempersiapkan lingkungan untuk tindakan berikutnya. Media sosial telah membentuk demokrasi dan sangat efektif. Sebagai contoh selama protes penolakan RUU Pilkada, ini menunjukkan bahwa hak demokrasi warga masyarakat melalui media sosial terjadi secara bersamaan. Dalam hal ini media sosial berperan sebagai tempat dimana masyarakat dapat menunjukkan eksistensi demokrasinya melalui partisipasi politik di media sosial dan ikut serta dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan atau memengaruhi kehidupan mereka. Hal ini menunjukkan bagaimana media sosial berpengaruh, meskipun hanya melalui pesan-pesan, namun dapat berkontribusi pada keputusan politik masyarakat.
Di era globalisasi saat ini penyebaran buzzer sangat masif. Terlebih lagi dengan adanya media sosial yang membuka ruang kontestasi yang luas dalam dunia politik. Berbagai persaingan politik antar elit maupun tingkat daerah dan proletar. Menurut situs “We Are Social”, pengguna media sosial di indonesia mencapai 167 juta jiwa atau dapat dikatakan 60,4% masyarakat indonesia. Dengan adanya media sosial, semua yang berpartisipasi dengan politik dapat berekspresi yang tidak dapat dibendung. Salah satu contoh yang menandakan adanya buzzer politik di media sosial adalah kasus pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019. Pada pemilu tersebut masyarakat indonesia seolah-olah dipecah menjadi dua golongan. Adapun kasus Pemilihan gubernur DKI Jakarta, pada pemilihan gubernur ini terdapat tagar “Kadrun”, “Kampret”, dan “Cebong” yang dicetuskan oleh para buzzer masing-masing pasangan calon. Ketiga tagar tersebut sempat menjadi tagar yang sering di “search” oleh masyarakat indonesia saat itu. Para buzzer ini dapat menggiring opini maupun informasi di media sosial. Mereka dapat membuat seolah-olah narasi tersebut terjadi dan nyata adanya. Buzzer ini tak jarang juga menyebarkan informasi yang salah, contoh yang paling disorot saat adanya isu Presiden Jokowi seorang komunis. Cerita ini digaungkan tanpa argumentasi logis atau fakta empirisnya.
Semua propaganda isu-isu negatif terhadap calon presiden mau calon legislatif, bisa dikatakan sebagai buzzer politik. Buzzer politik adalah tokoh yang mempunyai akun media sosial, baik secara anonim maupun atas nama asli, yang melakukan buzzing, menyebarluaskan, mengkampanyekan informasi atau pesan politik untuk membentuk opini publik. Pada pemilihan umum 2019, buzzer politik menjadi dua, yaitu independen dan relawan. Buzzer yang independen mempunyai ciri bebas dan tidak terikat pada kelompok politik tertentu. Sedangkan, relawan buzzer adalah yang mempunyai preferensi politik tertentu, dengan menjalin relasi dengan partai politik ataupun politisi tertentu dengan tujuan memenangkan calon yang didukung. Tak hanya dua jenis diatas, adapula bot buzzer dan human buzzer. Pada penggunaan akun bot sering terjadi salah paham maupun penyebaran informasi yang tergolong spam dan tidak aktual. Akun bot ini mencederai partisipasi masyarakat dalam bermedia sosial karena tidak adanya akun nyata dan dapat memanipulasi informasi.
Buzzer dalam pandangan hukum tidak dapat dipidana, sepanjang konten yang dihasilkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang berlaku. Akan tetapi, jika buzzer menyebarkan konten hoax dan atau ujaran kebencian. Kemudahan dan kebebasan media sosial di Indonesia sangat berkembang pesat. Hal ini menyebabkan berbagai informasi dapat menyebar luas dengan mudah. Apabila kebebasan ini tidak diimbangi dengan literasi digital akan menyebabkan pengguna media sosial dapat menyebarkan berita palsu semakin merajalela. Bebasnya buzzer dalam bermedia sosial ternyata banyak disalahgunakan, mereka mengatasnamakan pers, akan tetapi motifnya sebagai buzzer. Salah satu contoh kasus buzzer yang menyebarkan informasi hoax, ialah kasus buzzer hoax “server KPU di setting untuk menangkan Jokowi”. Pada kasus tersebut terdapat dua pelaku yang menyebarkan hoax terkait video yang direkayasa sedemikian rupa dengan narasi dibumbui informasi bohong. Para masing-masing pelaku mempunyai 3 akun untuk menyebarkan informasi salah tersebut. Para pelaku kemudian dijerat Pasal 14 ayat 1 KUHP yang berbunyi “Menyiarkan berita bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat dikenakan sanksi pidana penjara 10 (sepuluh) tahun.”
Dapat dikatakan bahwasannya komunikasi politik melalui media sosial dapat menjadi sarana politisi untuk turut merangkul komunikasi media sosial sebagai strategi untuk berkomunikasi dan menemukan audiens potensial. Hal ini terwujud dengan masifnya penggunaan media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, YouTube, dll disamping website resmi yang telah dimiliki oleh partai politik tersebut. Politisasi media telah mengubah paradigma penggunaan media, di mana media tidak hanya menjadi alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga menjadi alat kekuasaan politik dan ekonomi. Hal ini menunjukkan kompleksitas hubungan antara media dan politik, serta dampaknya terhadap dinamika kekuasaan dan opini publik. Sebagai wujud dari kompleksitas antara media dan politik maka muncullah buzzer politik. Buzzer politik adalah tokoh yang mempunyai akun media sosial, baik secara anonim maupun atas nama asli, yang melakukan buzzing, menyebarluaskan, mengkampanyekan informasi atau pesan politik untuk membentuk opini publik. Di era globalisasi saat ini penyebaran buzzer sangat masif sebagai wujud dari politisasi media. Terlebih lagi dengan adanya media sosial yang membuka ruang kontestasi yang luas dalam dunia politik.
Daftar Rujukan
- Ardial, 2010, Komunikasi Politik, Indeks, Jakarta, Bertens, K, 2011, Etika, Gramedia Jakarta
- Arianto, B. (2019). Kontestasi Buzzer Politik dalam Mengawal APBD DKI Jakarta. Jurnal Polinter, 5(1), 55–76.
- Donni003 (2021). Politik Digital Anak Muda. Diakses pada 15 November 2023, dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (kominfo.go.id)
- Hayat , M. A, dkk. (2021). PERAN MEDIA SOSIAL DALAM KOMUNIKASI POLITIK. Jurnal Indonesia Sosial Teknologi. 2(1), 104-112
- Juditha, C. (2019). Buzzer di Media Sosial Pada Pilkada dan Pemilu Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Komunikasi dan Informatika. 199-211
- Nulty, dkk. (2016). Social media and political communication in the 2014 elections
to the European Parliament.Electoral Studies. 44, 429–444. - Qadriah, S. (2020). BUZZER DALAM KACAMATA HUKUM. Pelaihari
- Santoso, Audrey. (2019). Polisi Tangkap 2 Buzzer Hoax ‘Server KPU Di-setting Menangkan Jokowi. Detik.com. Diakses pada 15 November 2023.
Impressive posts! My blog Article Home about SEO also has a lot…